Tulisan ini berupaya melihat hubungan kedua rezim tersebut melalui hubungan yang terjalin antara WTO dengan Protokol Kyoto yang bisa dianggap sebagai rezim lingkungan hidup internasional yang berfokus pada penanganan iklim dunia. Secara umum, permasalahan global disebabkan oleh pemborosan energi, penggundulan hutan, serta tidak adanya tekhnologi yang efisien, yang pada ujungnya akan menciptakan suatu emisi karbon yang berlebih ke dalam atmosfer bumi. Untuk itulah kemudian, terjalin kesepakatan Protokol Kyoto yang intinya merupakan komitmen dari negara-negara dunia untuk mengurangi emisi karbon mereka. Solusi yang kemudian muncul dari Protokol Kyoto adalah solusi dari sudut pandang ekonomi, yaitu terciptanya mekanisme perdagangan karbon, dimana emisi karbon yang dihasilkan oleh negara-negara anggotanya diperjualbelikan di pasar internasional.
Mekanisme perdagangan karbon ini kemudian mendapat banyak kritikan. Kritikan utamanya adalah bahwa perdagangan karbon ini sama saja dengan memberikan hak untuk mencemari lingkungan. Negara maju yang seharusnya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar, dikarenakan menjadi sumber terbesar penyumbang emisi karbon ke dalam atmosfer bumi malah menjadi tidak terlalu diperhatikan. Akan tetapi, di samping kritikan terhadap mekanisme perdagangan karbon tersebut, penerimaan atas perdagangan karbon dalam Protokol Kyoto telah menggambarkan hubungan yang tercipta antara rezim lingkungan hidup dengan rezim perdagangan bebas yang berdiri dalam satu ideologi.
Akan tetapi, kemudian jika ingin melihat secara umum mengenai hubungan antara rezim perdagangan bebas dengan rezim lingkungan hidup internasional, maka fenomena yang terlihat adalah bahwa rezim lingkungan hidup masih belum dapat berjalan dengan efektif karena seringkali aturan-aturan dan norma yang tercipta dalam rezim lingkungan ini disubordinasikan dengan aturan-aturan dan norma yang ada pada rezim perdagangan bebas. Sebagai contoh misalnya adalah ketika larangan impor terhadap produk yang disinyalir menciptakan kerusakan lingkungan seringkali terbentur dengan adanya prinsip MFN dalam WTO. Oleh karena itu, hal mendesak yang harus dilakukan guna membuat kedua rezim internasional ini bisa berjalan beriringan adalah dengan juga memasukkan permasalahan lingkungan hidup ke dalam kepentingan vital tiap aktor-aktor internasional.
Sementara itu, berkenaan dengan efektivitas dari mekanisme perdagangan karbon, dalam tulisan ini penulis menelaahnya berdasarkan pengalaman Indonesia. Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Kyoto kemudian juga merasa perlu berperan dalam perdagangan karbon. Namun cara yang ditempuhnya dengan hanya membatasi penggunaan energi tanpa memperlihatkan usaha yang serius dalam mengatasi isu deforestasi memperlihatkan ketidakefektifan mekanisme perdagangan karbon dalam mengurangi emisi karbon di atmosfer. Beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam melakukan perdagangan karbon, jika tidak segera diatasi dapat menjadikan Indonesia dimanfaatkan oleh negara-negara maju dalam membayar “dosa-dosa” kerusakan lingkungan yang telah dibuatnya. Lebih lanjut, jangan sampai proyek Clean Development Mechanism sebagai implementasi Protokol Kyoto hanaya menjadi beban bagi pemerintah Indonesia. Pemasukan yang diterima pemerintah dari penjualan sertifikat penurunan emisi harus juga dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terakhir, penulis beranggapan bahwa ketidakadilan dalam penanganan masalah iklim dunia bisa diakhiri dengan adanya tanggung jawab dari berbagai pihak yang telah menyebabkan pencemaran lingkungan itu sendiri. Isu pemanasan global ini tidak bisa dilihat sebagai isu nomor dua saja, tetapi juga harus dapat disinkronkan dengan berbagai isu lainnya, terutama menyangkut isu perdagangan bebas, agar mewujudkan dunia yang lebih nyaman, dan dunia yang berkelanjutan untuk generasi mendatang. Dengan demikian, kesinambungan antara berjalannya rezim perdagangan bebas dengan rezim lingkungan hidup internasional pun dapat tercapai.
Referensi
A. A Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005).
Christian Reus-Smit (ed), The Politics of International Law, (Cambridge: Cambridge University Law, 2004).
David N. Balaam dan Michael Veseth, Introduction to International Political Economy, (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1995).
Joseph S. Nye Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History 2nd Edition, (United States: Longman, 1997).
Richard Little, “International Regimes” dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.), The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations 2nd Edition (Oxford: Oxford University Press, 2001).
Joseph S. Nye Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History 2nd Edition, (United States: Longman, 1997).
Joseph E. Stiglitz (terjemahan), Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, (Bandung: Mizan, 2007).
Martin Griffiths, dan Terry O’Callaghan International Relations: The Key Concepts, (Routledge: New York & London, 2002).
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar Edisi Kedua, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), hlm. 337.
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Stephen Krasner, “The Accomplishment of International Political Economy”, dalam Steve Smith, Ken booth & Marysia Zalecusk (Eds), Internatinal Theory: Positivism and Beyond, (Cambridge University Press, 1996).
Ditulis oleh Pandu Utama Manggala
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
Ketua Umum BEM FISIP UI
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
Ketua Umum BEM FISIP UI
|