Belajar Menjadi Sahabat Bumi di BEM FISIP UI

BEM FISIP UI 2008 merupakan organisasi kemahasiswaan di FISIP UI yang menjalankan fungsi sebagai lembaga eksekutif. Terbentuk pada bulan Juli 2008, organisasi ini memiliki program-program yang berwawasan lingkungan. Jika kita melihat logo BEM FISIP UI, maka kita akan menemukan gambar sebuah pohon, yang merepresentasikan BEM FISIP UI peduli dan cinta lingkungan. BEM FISIP UI juga memiliki tiga warna dominan: kuning yang merepresentasikan Universitas Indonesia; oranye yang merepresentasikan FISIP UI; dan hijau yang merepresentasikan lingkungan alam.


Salah satu hal yang unik dari BEM FISIP UI ialah organisasi ini memiliki SOP (Standard Operating Procedures) bidang Lingkungan. SOP ini mengatur kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh BEM FISIP UI agar ramah terhadap lingkungan. Dalam SOP, dijelaskan bahwa aktivitas kelembagaan BEM FISIP UI harus menghemat energi dan kertas, tidak menggunakan barang yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Lebih lengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:

Aturan Aktivitas Kelembagaan Berbasis Lingkungan

Aktivitas aturan Kelembagaan berbasis lingkungan merupakan serangkaian peraturan dan nilai yang harus diterapkan selama kepengurusan BEM FISIP UI 2008, baik dalam aktivitas harian, program kerja event, maupun proker kerja gradual sebagai bagian dari bentuk penyelematan bumi dari pemanasan global.

Secara umum, pelaksanaan aturan aktivitas kelembagaan berbasis lingkungan mencakup:

Penghematan energi yaitu:
a. Penggunaan AC secara bijaksana di setiap ruangan. Jika tidak diperlukan, matikan AC
b. Pembersihan atau penggantian saringan udara AC minimal tiga bulan sekali
c. Mematikan lampu jika tidak diperlukan atau saat meninggalkan ruangan walaupun hanya sebentar
d. Menggunakan lampu yang hemat energi
e. Menatikan alat listrik secara umum sebelum meninggalkan ruangan atau jika alat listrik sedang tidak diperlukan (contoh: komputer, laptop, dsb)
f. Jika ruang BEM FISIP tidak digunakan sama sekali (malam hari atau libur), semua kabel alat elektronik dicabut dari steker (un-plug)
g. Penggunaan printer cartridges yang bisa di recycle

Penghematan kertas
a. Meng-copy atau mencetak kertas pada kedua sisi (bolak-balik) baik dalam proposal, lampiran surat, dan semua materi yang memungkinkan untuk penggunaan kertas bolak-balik
b. Penggunaan kembali kertas bekas yang sisi satunya masih kosong, untuk keperluan informal atau lainnya.
c. Segala sisa kertas hasil kepanitiaan harus didaur ulang atau jika tidak mampu dijual kepada pihak lain untuk digunakan ulang.
d. Segala surat yang hendak mendapat persetujuan dari Ketua BEM FISIP UI harus ditunjukkan dalam wujud soft copy dahulu sebelum di print, untuk meminimalisir pemborosan kertas.

Manajemen sampah
a. Tersedianya tempat sampah yang memadai dalam ruangan BEM FISIP UI atau dalam event yang diadakan BEM FISIP UI
b. Penyediaan tempat sampah harus memenuhi standar pemilahan sampah
c. Memastikan kebersihan ruangan BEM FISIP UI atau event yang diselenggarkaan BEM FISIP UI dengan membuang sampah pada masing-masing tepat sampah yang telah disediakan

Larangan penggunaan bahan-bahan/ zat berbahaya yang sukar/ tidak bisa didaur ulang/ dihancurkan. Yang termasuk material ini adalah stereofoam, cat pilox/ spray, pengharum ruangan semprot, dan merkuri. Larangan ini berlaku pada seluruh aktivitas BEM FISIP UI.


Anggota BEM FISIP UI yang melanggar peraturan tersebut akan mendapatkan hukuman, sedangkan bagi mereka yang dengan baik menaatinya akan mendapat penghargaan. Penerapan aturan semacam ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh BEM FISIP UI untuk mengajak para anggotanya menjadi sahabat bumi, dengan mulai melakukan hal kecil terlebih dahulu, dan membiasakannya mulai dari saat ini.

Selain peraturan dasar mengenai aktivitas kelembagaan, berbagai program kerja BEM FISIP UI pun berbasis pada lingkungan. Beberapa program tersebut antara lain:



Menu (Warung) Amal
Melalui program ini, para mahasiswa, dosen, dan karyawan FISIP UI dapat menyisihkan uang mereka untuk membantu sesama dan kelestarian alam. Para penyumbang dapat memilih sesuai menu untuk siapa uang mereka akan disumbangakan. Di antara pilihan tersebut, terdapat menu menyumbang untuk badak jawa dan orang utan, dua satwa yang kini telah langka.



Community Development (Comdev)
Community development (program pemberdayaan masyarakat) BEM FISIP UI berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menjadi sasaran (peserta) proram ini, yakni para pemuda RT 08/03 Kelurahan kemiri Muka, Depok. Para peserta Comdev diajarkan berbagai keterampilan untuk menunjang kegiatan kewirausahaan. Keterampilan yang diajarkan ialah kegiatan yang berbasis pada lingkungan, yakni pembuatan kertas daur ulang, kotak pensil dari botol minuman plastik, dan briket -bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan-, yang nantinya dapat mereka kembangkan dan perjualbelikan. Selain berupaya meningkatkan kualitas hidup peserta, kegiatan Comdev ini juga bermaksud mengajak peserta dan masyarakat pengonsumsi hasil karya mereka untuk menjadi sahabat bumi.

Peringatan Hari Pohon Sedunia
Dalam rangka memperingati hari pohon sedunia yang jatuh pada tanggal 21 November, pada tanggal 26 November-2 Desember 2008 lalu BEM FISIP UI bekerja sama dengan Green Radio dan Dinas Kehutanan DKI Jakarta membagi-bagikan 500 buah bibit pohon kepada para mahasiswa, dosen, karyawan kampus, dan masyarakat umum di sekitar lingkungan kampus. Kegiatan ini bertujuan mengajak orang-orang untuk cinta pohon dan menjadi sahabat bumi, di samping sebagai real action dalam membantu mengurangi dampak pemanasan global, .

Diskusi Kontemporer
BEM FISIP UI juga melakukan berbagai kajian mengenai lingkungan. Diskusi yang pernah diselenggarakan berkaitan dengan lingkungan antara lain diskusi mengenai dampak lumpur Lapindo terhadap lingkungan, privatisasi air, dan lain sebagainya.

Blits (Bulan Ilmiah Ilmu Politik dan Sosial)
Dalam program blits, terdapat sebuah kompetisi menulis esai bagi para mahasiswa FISIP UI dengan tema "kontribusi generasi muda untuk lingkungan". Diadakannya kompetisi tersebut bertujuan untuk mengajak kaum muda peduli terhadap lingkungannya, dan bersama-sama memikirkan apa yang bisa dilakukan oleh anak muda dalam membantu mengurangi dampak pemanasan global.

FISIP FUN FAIR 2009 "Evergreen"
Sesuai temanya, "Evergreen", FISIP FUN FAIR 2009 yang merupakan acara puncak kepengurusan BEM FISIP UI 2008 ini sangat kental akan nuansa lingkungan. Berbagai mata acara yang terdapat di dalamnya, seperti permainan, pagelaran seni dan budaya, stand-stand dan lain sebagainya, berupaya mengajak para pengunjungnya untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan.


Kegiatan serta program-program yang diadakan oleh BEM FISIP UI menyiratkan pesan betapa pentingnya bagi kita untuk menjaga lingkungan. Yang dilakukan oleh BEM FISIP UI memang belum besar, namun setidaknya sudah dapat membuat para pengurusnya belajar menjadi sahabat bumi. Diharapkan, selanjutnya, para pengurus BEM FISIP UI inilah yang menjadi 'agen lingkungan' di lingkungannya masing-masing. Semoga apa yang telah dilakukan oleh BEM FISIP UI 2008 ini dapat menginspirasi organisasi lainnya untuk melakukan hal yang lebih baik lagi dari yang sudah dilakukan oleh BEM FISIP UI.



Ditulis oleh Rifa Mulyawan
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI
Kepala Departemen Sosial Masyarakat BEM FISIP UI

[+/-] Selengkapnya...

An Inconvenient Truth, Global Warming Swindle, dan Kita

Persoalan Pemanasan Global bukan hanya persoalan sains semata, melainkan juga persoalan politik sehingga hal ini terus menimbulkan kontroversi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya dua buah versi film dokumenter -yang sama-sama memaparkan fakta ilmiah- dalam memandang global warming. Kedua film tersebut adalah An Inconvenient Truth yang diangkat oleh Albert Gore -seorang mantan wakil Presiden Amerika-, dan film The Global Warming Swindle.

Dalam film An Inconvenient Truth, awalnya Al Gore mengajak kita memahami betapa manusia sangat meyukai keindahan dan keselarasan. Namun akhirnya kita harus tersadar bahwa alam yang indah dan menjanjikan kehidupan bagi manusia ini, pada akhirnya akan menemui kehancuran karena perbuatan manusia itu sendiri. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar CO2 yang ada di atmosfir secara signifikan, seiring dengan berkembangnya industrialisasi dan peradaban manusia lainnya.



Menghadapi suatu proyeksi saintifik akan masa depan yang tidak menggembirakan, Al Gore menyatakan bahwa,“It’s not a political issue, but a moral issue. If we allow it happen, it’s deeply unethical.” Over population telah menambah dan menggandakan kebutuhan manusia, sehingga atas dasar tersebut, banyak resources yang digunakan secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat menyokong kehidupan manusia. Hal ini menjadi power, namun apabila power ini tidak diiringi dengan perkembangan cara berpikir dan kebiasaan yang baru, maka tidak diragukan lagi akan menghasilkan konsekuensi yang amat dramatis bagi alam ini dan kehidupan manusia itu sendiri. Karena sudah merupakan ketetapan hukum alam, bahwa great power comes great responsibility. Manusia sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas hal ini, menurutnya harus dapat meminimalisir dampak yang mengkin terjadi. Al Gore menekankan bahwa apabila kita membiarkannya terjadi akan ada sesuatu yang mungkin tidak ada lagi untuk anak kita. Dari hal-hal yang dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, film ini sarat dengan konsep atau pandangan antroposentrisme, dimana manusia menjadi pusat dari alam dan dianggap dapat mengatur dan mengendalikan alam. Oleh karena itu hal-hal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan pun ditujukan untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Sedangkan dalam film The Global Warming Swindle, dipaparkan bahwa klaim global warming sebagai akibat dari aktivitas manusia, adalah kebohongan besar. Disajikan melalui wawancara para ilmuwan dan pihak lain yang tidak setuju dengan aktivitas manusia sebagai penyebab global warming. Film tersebut mengklaim bahwa kesepakatan aktivitas manusia sebagai penyebab utama perubahan iklim, sengaja dibuat oleh environmentalist yang anti-industrialisasi untuk mendatangkan lapangan pekerjaan dan aliran dana bagi organisasi yang terlibat mengatasinya. Kesepakatan ini juga berdampak pada terhambatnya perkembangan di development country.


Fakta yang dipaparkan dalam The Global Warming Swindle, diantaranya pada masa setelah perang dunia II (1940) hingga tahun 1970-an kadar CO2 di atmosfir mengalami penurunan. Hal ini yang menguatkan bahwa bukan aktivitas manusia--dalam hal ini industrialisasi yang berkembang pada masa itu-- yang menyebabkan meningkatnya gas karbon dioksida, justru alam sendirilah yang lebih banyak menghasilkan Co2.
Kontributor gas CO2 yang diklaim oleh film tersebut diantaranya adalah:
1. Aktivitas gunung api yang secara signifikan menghasilkan CO2 per tahun lebih banyak dari manusia (namun kemudian produser film tersebut, mengakui bahwa kalim tersebut salah),
2. Tanaman dan hewan yang menghasilkan 150 gigaton gas Co2 per tahun. Daun yang gugur bahkan memproduksi lebih banyak Co2
3. Lautan yang sejauh ini adalah produsen terbesar gas CO2.
4. Sedangkan manusia, hanya memproduksi hanya 6,5 gigaton gas CO2 per tahunnya, atau tidak lebih dari 1 persennya.

Salah satu yang terbesar pengaruhnya dalam fenomena global warming menurut film ini adalah aktivitas matahari yang kian meningkat memanaskan bumi. Penelitian yang digunakan untuk mendukung argumen ini adalah penelitian Eigil Friis-Christensen. Namun Christensen dan koleganya Nathan Rive sendiri mengkritik cara penggunaan data tersebut.

Data-data ini sangat bertentangan dengan data yang dipaparkan dalam film An inconvenient truth. Begitu pula dengan keyakinan saya. Berpegang pada apa yang saya pahami dari konsep agama Islam, Islam menyebutkan bahwa Tuhan telah menciptakan alam ini dengan ukuran yang tepat. Hal ini juga dapat diartikan bahwa alam ini tidak akan rusak dengan sendirinya, dan selalu bergerak untuk mencari keseimbangan. Jadi apabila alam mengakibatkan kerugian pada manusia, hal itu pasti disebabkan adanya gangguan alam itu sendiri. Dalam bukunya The Net of Life, Capra mengutip puisi Ted Pery yang intinya berujar bahwa apa yang dilakukan oleh manusia adalah bagian dari jaring-jaring kehidupan dan merajutnya, mak apapun yang ia lakukan pada jaring-jaring itu akan menganai dirinya sendiri.

Salah satu penyebab terjadinya global warming adalah ketidakmengertian manusia terhadap masalah ekologi. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha agar masalah ekologi dapat dipahami oleh masyarakat, dimulai dari lingkup terkecil yang dapat kita jangkau. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Fritjof Capra dalam bukunya, The Hidden Connections melalui konsep ekoliterasi dan ekodesain. Ekoliterasi secara terminologis dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk menumbuhkan kesadaran ekologi pada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Saya juga sepakat dengan pernyataan Al Gore di akhir film dokumenternya, bahwa pada akhirnya pola pikirlah (way of thinking) yang akan menyelamatkan kita. Namun itu saja belum cukup, sebuah pemikiran tidak akan berarti tanpa adanya real action, ini yang disebut oleh Capra sebagai ekodesain, sebagai langkah kedua dari menciptakan masyarakat yang sadar ekologi. Mengutip Al Gore, yang perlu kita lakukan adalah “make sure that the warnings are heard and responded.”

Dalam kapasitas sebagai anak muda, langkah konkrit yang dapat kita lakukan dalam menyikapi fenomena global warming dapat dimuali dengan tindakan-tindakan kecil, seperti tidak menggunakan listrik secara berlebih dan menggunakan alat-alat elektrik hemat energi.

Selain itu, merupakan salah satu tanggungjawab kita juga untuk mengajak orang lain untuk melakukan collective action. Hal ini juga dapat dimulai dari hal-hal kecil di sekitar kita dan dari sekarang, seperti misalnya melakukan social marketing pemilahan sampah di lingkungan kita atau penggunaan listrik dan bergaya hidup ramah lingkungan. Karena semua adalah proses, dan setiap langkah kecil yang kita lakukan adalah sangat berarti.


Referensi

Assifi, Najib M dan James H. french. Guidelines for Planning Communication Support for Rural Develompment campaigns.

Widiyanarko, Dian. 2006. Jurnal Balairung: Konsep ekoloterasi dan ekodesain Fritjof Capra, sebuah solusi untuk masalah sampah.

Sumber Foto

http://www.altum.com/bcig/events/special_sessions/2006/an-inconvenient-truth.jpg
http://www.yume.co.uk/wp-content/uploads/2008/08/the-great-global-warming-swindle1.jpg


Ditulis oleh Dinar Rahmi
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI
Sekretaris Umum BEM FISIP UI

[+/-] Selengkapnya...

Formasi Generasi Hijau: Dari Kepompong Menjadi Kupu-Kupu

When I Was A Child…

“Buanglah Sampah pada Tempatnya” atau “Matikan Lampu Jika Tidak Dipakai”. Jargon-jargon seperti itu seringkali terdengar ketika penulis masih menjadi bocah cilik yang tidak mengerti mengapa hal-hal itu perlu dilakukan. Sederhana. Tetapi apakah peringatan-peringatan tersebut masuk ke dalam alam bawah sadar seorang bocah cilik dan kemudian mendorongnya untuk melakukan hal tersebut seolah-olah merupakan sebuah norma masyarakat? Jawaban akan pertanyaan ini pada dasarnya sudah ada di benak masing-masing dari kita.

Penulis cenderung bersikap jujur dan menjawab “Tidak” untuk pertanyaan di atas. Secara faktual, di Indonesia, kepribadian hijau bukanlah sebuah norma umum (common sense) yang harus berada di bawah tudung ketakutan akan adanya sebuah hukuman yang tersimpan di alam bawah sadar seorang bocah cilik. Pikiran yang biasanya menjadi bahan argumen seorang bocah adalah: “Buat apa buang sampah pada tempatnya? Toh Ayah juga membuang sampah di tengah jalan dan tidak ada yang marah atau menegur” atau “Walaupun lampu tidak dimatikan ketika tidak dipakai, toh Ibu tidak marah, dan esok hari lampu masih menyala” atau “Air tidak pernah habis meskipun ketika Kakak menggosok gigi kran air tak henti mengucur.”

Bedakan dengan kondisi bocah cilik di negara maju, taruhlah Australia , membuang sampah pada tempatnya merupakan sebuah tindakan yang digerakkan oleh alam bawah sadar. Penulis mencoba menghindari generalisasi dengan mengatakan bahwa “Membuang Sampah Pada Tempatnya” di negara maju merupakan fenomena dan “Membuang Sampah Tidak Pada Tempatnya” merupakan kasus. Sebaliknya, di negara berkembang, taruhlah Indonesia, bocah cilik yang secara sadar melalui keinginannya sendiri “Membuang Sampah Pada Tempatnya” adalah sejumlah kasus di tengah fenomena ketidak patuhan.

Kenyataan ini sungguh memprihatinkan. Berusaha pula untuk menghindari kesimpulan yang mengarah pada persoalan ekonomi, penulis berpendapat bahwa persoalan sesungguhnya berada di alam pikiran manusia yang senantiasa mengkonstruksi dan memahami keadaan di sekitarnya. Persoalan lingkungan memang terkait dengan persoalan ekonomi, sosial, hingga politik, namun tidak bijaksana jika menyalahkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik untuk mengorbankan kelestarian lingkungan. Melalui rekonstruksi pikiran terhadap seorang bocah cilik, penulis berpendapat bahwa sustainabilitas lingkungan jangka panjang akan menunjukkan satu titik cerah. Semakin banyak titik cerah yang muncul, niscaya masa depan bumi tidak lagi kelam.

Penekanan pada ilustrasi di atas adalah proses internalisasi mengenai pola hidup hijau yang hendaknya diawali sedini mungkin. Tidak hanya dengan jargon-jargon, tidak dengan ceramah, maupun perkataan, tetapi dengan tindakan nyata yang dimulai oleh masing-masing individu dewasa yang berada di lingkungan tumbuh kembang seorang anak. Mengadopsi serta menganalogikan perspektif realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional terhadap isu ini, bahwa dalam menciptakan sebuah compliance suatu negara, terkadang cara-cara koersif dapat dibenarkan. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa Indonesia dengan watak yang sedemikian memerlukan seorang diktator yang kuat untuk merekonstruksi pilar-pilar kenegaraan agar tidak hanya kuat di permukaan namun juga di landasannya. Jika asumsi ini dipersempit dalam konteks internalisasi pola hidup hijau, maka cara-cara koersif (tidak selalu dalam bentuk fisik, dapat pula dalam bentuk psikis) dapat dipergunakan.

Idealnya, kontribusi saya sebagai bocah cilik adalah memproses informasi-informasi yang terkumpul, tidak hanya melalui pesan-pesan, jargon-jargon, simbol-simbol, namun juga perilaku manusia dewasa di sekitarnya yang yang akan dipahami sebagai norma. Selanjutnya dia akan menjadi agen penerus perilaku ketika dia tumbuh menjadi manusia dewasa. Namun secara realita, di Indonesia kontribusi yang sedemikian masih sulit untuk terwujud. Bocah cilik yang tidak memperoleh dasar perilaku hijau, hanya akan menjadi agen penerus perilaku ‘tidak sadar lingkungan’ kepada generasi selanjutnya. Ibarat kepompong, dia menyerap segala yang diberikan dan diperlihatkan untuk membentuk sebuah jiwa di kemudian hari.


Then I Was Grown Up…

"Tak kenal maka tak sayang.” Jargon yang amat pantas untuk menganalogikan hubungan antara manusia dan kesadaran lingkungan (environmental consciousness). Kini seorang bocah cilik sudah tumbuh sebagai remaja. Sebuah kasus jika si bocah memperoleh pendidikan secara baik, memiliki akses terhadap pengetahuan, mengolah pengetahuan yang didapatnya secara baik, dan akhirnya memiliki empati yang besar terhadap isu-isu lingkungan hidup. Ia ‘kenal’ akan isu lingkungan hidup yang terjadi terhadap bumi, maka lahir rasa ‘sayang’-nya terhadap bumi serta kemudian memahami pesan penting dari jargon-jargon masa kecilnya: “Buanglah Sampah Pada Tempatnya”, “Matikan Lampu Jika Tidak Terpakai”, dan sebagainya. Sayangnya, di negara kita yang tercinta hal seperti ini hanyalah segelintir kasus dan remaja-remaja sadar lingkungan pun serupa oase di tengah padang pasir yang sangat luas. Tidak adanya pendidikan lingkungan sejak dini dan perilaku orang-orang sekitar yang tidak memiliki budaya cinta lingkungan tidak dapat dipungkiri menjadi faktor utama lemahnya kesadaran lingkungan di Indonesia.

Pada dasarnya ada strategi ampuh dalam sosialisasi faham-faham lingkungan terhadap remaja usia belasan yaitu penciptaan tren sadar lingkungan yang kini mulai banyak dilakukan pula oleh brand-brand gaya hidup populer. Kaum remaja merupakan media yang potensial dalam mempopulerkan sebuah budaya atau gaya hidup. Sebagai ilustrasi, kita dapat melihat betapa budaya populer seperti bahasa slang, fenomena boyband, gaya rambut, dan gaya busana membidik kaum remaja sebagai media pemasaran. Kaum remaja yang dinamis dan penuh rasa ingin tahu serta aktualisasi diri yang tinggi memudahkan sebuah produk untuk mensosialisasikan pesan produknya. Hal serupa dapat terjadi pada ‘gaya hidup hijau’ di mana pesan-pesan pelestarian lingkungan diaplikasikan dalam pola hidup sehari-hari.

Mengambil contoh pesan dan strategi yang ditawarkan The Body Shop dalam memasarkan produk-produk perawatan tubuhnya. Penggunaan produk The Body Shop, yang di kalangan remaja dianggap sebagai hal yang populer, secara tidak langsung berhasil men-sosialisasi-kan gaya hidup cinta lingkungan kepada kaum muda. Ketika menggunakan produk The Body Shop atau menggunakan tas pakai ulang (green bag) merupakan sebuah tren masa kini, maka secara optimistis dapat dikatakan bahwa pesan lingkungan berhasil diinduksi ke kalangan remaja. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan strategi ‘tren’ ini mampu membawa pesan-pesan lingkungan ke dalam cakupan masyarakat yang lebih luas. Meskipun outcomes yang dapat dicapai tidak selamanya sampai dalam taraf menghayati pesan-pesan lingkungan tersebut, sosialisasi faham-faham hijau dapat merambah kelompok-kelompok yang pada awalnya awam akan hal tersebut.

Lalu saya sebagai generasi muda yang kini sudah tahu ‘keberadaan’ isu lingkungan, harus bagaimana? Penulis mengaktualisasinya dalam gaya populis dan sedikit utopis: mulailah dari hal kecil! Tidak sulit bagi kita untuk mematikan air dan listrik ketika tidak diperlukan, atau membuang sampah pada tempatnya, atau menggunakan produk-produk ramah lingkungan (yang kini pun sudah mulai populer), atau menghindari penggunaan plastik jika tas ransel sekolah kita masih mampu menampung berbagai barang yang kita belanjakan. Tidak pun mengeluarkan uang atau tenaga yang berlebihan. Kontribusi seorang remaja yang dipupuk dalam dirinya secara tidak langsung mengurangi beban bumi dalam memenuhi kebutuhan manusia.


And Me Being A Student…

Kini saya adalah manusia dewasa yang memiliki pola pikir yang kokoh, kemampuan menilai yang cukup matang, dan aktualisasi diri yang lebih terencana. Dalam fase yang sedemikian, ada anggapan bahwa akan lebih mudah untuk menjalankan gaya hidup hijau. Anggapan tersebut tidak pula benar. Justru sampainya saya ke tahap kedewasaan memberikan beban dan tanggung jawab dua kali lipat lebih besar untuk mengenalkan kepada orang-orang di sekitar mengenai gaya hidup hijau. Jika saya sudah mengerti, maka buatlah sebanyak mungkin orang untuk juga mengerti. Dengan demikian upaya ini tidak berjalan dengan sebelah kaki tanpa tangan dan kepala. Upaya pelestarian lingkungan harus dilakukan dengan peran serta aktif dari seluruh pihak. Terlebih saya kini seorang pelajar yang seharusnya menunjukkan kepribadian sebagai orang yang terdidik.

Mendidik diri sendiri sudah dilakukan di kala balita dan remaja, kini saatnya mencoba mendidik orang lain untuk menanamkan etos yang sama. Hal ini dapat dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal dalam tataran umur. Yang muda mengingatkan yang tua, yang tua menegur yang muda, dan golongan sebaya saling bekerjasama. Peran agen penggerak bagi masyarakat ini dapat dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan akses-akses lembaga pendidikan dan organisasi. Komunitas kampus sarat dengan pengadaan event-event yang mengatasnamakan aktualisasi diri generasi muda. Generasi muda dengan pengetahuan, pemahaman, internalisasi mengenai subyek lingkungan secara mapan, disertai dengan akses terhadap pesan-pesan lingkungan yang disampaikan berbagai media komunikasi, hendaknya semakin menanamkan pola hidup hijau dalam kehidupan sehari-hari serta mampu mentransfer segala pengetahuannya dengan jalan mengadakan berbagai kegiatan sadar lingkungan. Contohnya, momen Hari Tanpa Televisi disosialisasikan dalam kemasan yang unik namun tetap menonjolkan pesan inti yang ingin disampaikan. Atau program hiburan dengan menyelipkan pesan-pesan khas musisi hijau yang dapat dinikmati sambil mendengarkan alunan musik mereka. Atau menggalang dana melalui penjualan merchandise untuk mengadopsi badak Jawa.

Bukan bermaksud menutup mata terhadap fenomena bahwa upaya-upaya sedemikian hanya akan menyentuh permukaan saja tanpa merasuk ke dalam pikiran dan menciptakan penghayatan yang kuat akan pentingnya upaya pelestarian lingkungan. Tetapi seringnya bersinggungan dan bercengkerama dengan hal-hal yang sama serta adanya strategi ‘tren hijau’ bukan tidak mungkin lambat laun mampu menyadarkan masyarakat mengenai esensi lingkungan hidup. Mahasiswa dengan kemampuan eventualisasi yang lebih matang hendaknya terpacu untuk mendidik masyarakat akan pola hidup hijau melalui program-program kemahasiswaan yang bermanfaat. Dengan menginisiasi, mengajak, dan mempromosikan hal tersebut, diharapkan kerangka berpikir hijau tidak hanya menjadi semboyan semu, namun dapat terpatri dan diamalkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Layaknya kupu-kupu hijau, saya harus sudah bisa mengepakkan sayap dengan tegar, mengerti arah, dan di sisi lain membina kepompong-kepompong lain yang akan menjadi kupu-kupu di kemudian hari.

Air….Listrik….Sampah….Ketiga hal yang senantiasa ada dalam kehidupan kita, kini bukan pada perannya kita memahami jargon-jargon dan mendidik diri sendiri dalam sebuah tudung kepompong. Kini sebagai generasi muda dan mahasiswa, kontribusi pemikiran dan gagasan sudah sangat diharapkan. Bukan untuk membuat jargon, tetapi untuk membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang ada. Selagi gaya hidup hijau sudah terhayati, sudah saatnya membantu bumi untuk tidak menjadi pesakitan. Penelitian dan formulasi kebijakan maupun strategi sustainable development akan menjadi kontribusi yang signifikan ketika kita sudah memiliki komitmen lingkungan hidup yang cukup matang. Namun menjadi kupu-kupu hijau yang baik akan cukup kuat efektifitasnya meskipun hanya dengan mengajak kupu-kupu lain serta membina kepompong-kepompong yang ada untuk bersama-sama menghijaukan bumi.

Pada akhirnya, kontribusi generasi muda terhadap lingkungan tidak hanya diawali dari posisi ‘saya sebagai mahasiswa’, tetapi dari sejak dini dapat dilakukan. Masing-masing level perkembangan manusia memiliki kontribusi tersendiri terhadap lingkungan. Masing-masing level tersebut pun bukanlah bagian yang saling independen, karena pada akhirnya satu sama lain seharusnya saling mendukung untuk mewujudkan mosi generasi hijau yang solid. Ibarat kata, formasi generasi hijau layaknya siklus kepompong menjadi kupu-kupu yang terus berulang. Jika kepompong dibina oleh kupu-kupu hijau, niscaya kupu-kupu yang muncul kelak pun akan berwarna hijau.


Ditulis oleh Ratu Ayu Asih Kusuma Putri
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

[+/-] Selengkapnya...

KAMPUNG 99 POHON : Konsep Hidup Family Back To Nature sebagai Kontribusi Membangun Lingkungan

Kerusakan Hutan Indonesia

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003).

Dengan semakin berkurangnya hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003)

Hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan.

Jika dilihat dari perspektif sosiologis, maka konsep the treadmill of production dapat digunakan untuk melakukan analisis kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Menurut Buttel ( 2004 ), treadmill of production yaitu “he has observed the concept of the treadmill is unique insofar as it is based in sociological reasoning but, at the same time, features a key or penulminate dependent variabel –environmental destruction- this is biophysical.” Konsep ini lebih tepat jika diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga atau di Kawasan Selatan, dimana negara-negara Dunia Pertama menerapkan politik ekonominya demi mencapai produktivitasnya dengan memproduksi dan mengeksploitasi hutan di negara-negara Ketiga. Namun, proyek-proyek yang dilakukan tersebut justru membawa pada kerugian akibat bencana yang ditimbulkan dari produksi yang terus-menerus. Pernyataan berikut memberikan gambarannya : “Such project often fail to produce the expected level of economic growth while at the same time causing massive ecological damage in the form of flooding, rainforest destruction, soil erotion, and pollution.”

Pengrusakan hutan yang terus-menerus akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Sementara itu, rakyat dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka.

Permasalahan

Akses dan kesulitan masyarakat dalam memanfaatkan hutan menjadikan mereka kehilangan peran untuk tetap peduli dan melestarikan hutan. Hal ini diakibatkan karena hutan tempat mereka menggantungkan hidup sudah tidak lagi berfungsi dan akhirnya mereka menjadi kehilangan kepekaan akan keberadaan hutan. Hutan menjadi barang yang langka terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dan sekitarnya. Masyarakat perkotaan dan sekitarnya begitu merindukan hidup dan merasakan atmosfer hutan yang dikelilingi pepohonan dan fauna dengan diselimuti hawa sejuk. Dan kini, mimpi masyarakat –terutama masyarakat daerah rural urban- untuk mendapatkan lingkungan yang sejuk dan segar dapat segera terwujud dan contohnya dapat ditemui di Kampung 99 Pepohonan Depok dengan konsep hidup yang menerapkan Family Back To Nature.

Dengan permasalahan tersebut, maka pertanyaan penulis ialah bagaimana masyarakat Kampung 99 Pepohonan berusaha mendapatkan suasana hawa sejuk dengan konsep yang pro-lingkungan yaitu Family Back To Nature sebagai kontribusi dalam membangun lingkungan?

Sekilas Profil Kampung 99 Pepohonan

Depok merupakan salah satu daerah satelit kota Jakarta yang berbatasan langsung di bagian selatan. Jika ditilik lebih dalam yaitu di daerah Cinere, tepatnya di desa Meruyung, maka kita dapat menjumpai sebuah kampung yang sangat asri yang dinamai Kampung 99 Pepohonan. Nama Kampung 99 Pepohonan diambil dari banyaknya pohon jati putih (gmelina arborea) yang ditanam anak-anak sebanyak 99 pohon. Dengan luas sekitar 5 hektar, wilayah yang dahulunya areal persawahan kritis ’disulap’ menjadi kawasan hutan baru dimana didalamnya tidak hanya terdapat pohon-pohon, tetapi juga hewan-hewan. Pohon-pohon yang saat ini menghuni kampung ini diantaranya pohon jati putih, meranti, trembesi, ulin, menteng, gandaria, bintaro, kemang, bambu, dan mahoni. Tidak kalah juga, hewan-hewan yang ada di kampung ini jenisnya juga beraneka ragam seperti rusa, burung-burung, kunang-kunang, tupai, ular, hingga biawak.

Awalnya Kampung 99 Pepohonan atau disebut Kampung Rusa adalah tempat hunian pribadi. Ada sepuluh keluarga yang hidup berkelompok dengan mempraktikkan Alquran dan Hadis di sana. Tidak ada pagar yang membatasi kampung tersebut dengan dunia luar, dan bahkan setiap orang dapat tinggal di kampung tersebut jika visi dan misinya selaras dengan konsep kampung tersebut yaitu dengan gaya hidup organik. Hunian yang ramah lingkungan dan terbuka kini mulai dibangun. Luas setiap rumah kayu yang dibangun tak lebih dari 100 meter persegi, tanpa pagar, dan dibangun bersama oleh seluruh penghuni Kampung 99 Pepohonan. Setiap keluarga mempunyai kolam penyangga untuk memelihara ikan atau ternak dan kebun minimal 100 meter persegi. Kayu yang digunakan untuk membangun rumah bukanlah kayu yang mahal. Mereka menggunakan kayu yang mudah ditemukan di sekitar Meruyung.

Penerapan Konsep Hidup Family Back To Nature

Konsep hidup bersama dalam kampung ini dicetuskan oleh Eddy Djamaludin Suaidy. Ia adalah lulusan Arkeologi Universitas Indonesia yang saat ini menjadi tetua Kampung 99 Pepohonan. Konsep keluarga besar yang memenuhi kebutuhan bersama-sama dan gotong royong itulah yang dikembangkan Eddy di Kampung 99. Sepuluh keluarga yang hidup bersama dengan total 70 orang warga itu bukan hanya saudara sekandung. Tapi, ada adik ipar, keponakan, teman kampung ayahnya dulu, hingga orang lain yang benar-benar tak ada hubungan darah dengannya. Kesepuluh keluarga itu hidup di rumah masing-masing yang saling berdekatan, dimana rumah-rumah itu dibangun dengan kayu dan gaya yang alamiah.

Mereka secara maksimal mencukupi kebutuhan sendiri. Misalnya, menanam padi dan sayur organik, berkebun buah-buahan, beternak kambing dan sapi, serta perikanan. Untuk memasak, mereka tidak menggunakan gas, tapi dengan kayu yang didapatkan dari ranting yang hanyut di sungai. Semua penghuni dilarang menebang pohon, memetik daun, membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik. Agar lingkungan asri dan udara segar terus didapatkan, seluruh penghuni tidak merokok.

Mereka bukan hanya mengonsumsi semua makanan yang alami, mereka juga membangun hubungan sosial dengan pola baru. Hubungan antartetangga dibangun atas dasar keterbukaan dan kolektivisme.Terdapat suatu sistem kegiatan hidup yang dirancang di kampung ini seperti sistem satu laundry, satu dapur, dan satu sumur. Kegiatan mencuci pakaian dipusatkan di rumah seorang penghuni yang dekat dengan Sungai Pesanggrahan. Memasak dilakukan dengan menggunakan kayu bakar yang diperoleh dari ranting atau dahan pohon yang berguguran dan dipusatkan di rumah penghuni lain yang gemar memasak.

Kampung ini memproduksi sendiri seluruh kebutuhan pangan sehari-hari bagi penghuninya, seperti beras bebas, pupuk, roti tanpa pengawet, keju, susu, madu, sayur-mayur, yogurt, dan ikan. Setiap penghuni bebas mengembangkan ide, minat, dan potensi untuk membuat kehidupan di kampung kecil ini semakin lengkap. Semua yang ada di Kampung 99 Pepohonan ini tak ada yang terbuang. Telur keong emas dan remah-remah sisa pembuatan roti dijadikan pallet untuk makanan ikan. Daun-daun untuk makanan rusa dan dijadikan kompos, yang kini selain dipakai sendiri juga sudah dijual. Ranting-ranting kayu untuk kayu bakar. Kotoran ternak dijadikan pupuk tanaman. Tulang-tulang ikan, ayam, bekas- makanan, dikumpulkan untuk makan ikan bawal.

Selain memenuhi kebutuhan sendiri, mereka melakukan pembagian kerja. Misalnya, ada yang kebagian memasak untuk ke sepuluh keluarga, ada yang kebagian mencuci pakaian, hingga ada yang kebagian merawat hewan dan tanaman. Dengan cara ini, mereka bisa hidup hemat. Jika mereka mengalami konflik atau masalah di antara warga, di komunitas ini terdapat forum. Itulah pertemuan tertinggi yang digelar setiap dua pekan untuk memutuskan apa pun secara bersama-sama.

Kini hasil Kampung 99 Pepohonan berlimpah, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan para penghuninya. Produk seperti yogurt, beras, madu, cuka apel, ikan, dan sayuran sudah mulai dijual ke luar. Kegiatan menanam pun tak pernah berhenti. Setiap hari penghuni kampung ini menanam sepuluh pohon. Inovasi terus dikembangkan, mulai dari pembuatan cuka kelapa, hingga yogurt sukun. Juga memproses air irigasi untuk mandi agar pemakaian air tanah semakin berkurang. Dan mereka juga membuat pembangkit listrik tenaga kincir air yang ramah lingkungan.

Buah Itu...

Konsep unik untuk hidup bersama di Kampung 99 itulah yang akhirnya memancing orang luar untuk ikut merasakan. Kampung yang berkonsep back to nature itu kini menjadi tujuan wisata alam. Kini Kampung 99 menjadi daya tarik yang membuat banyak orang berkunjung ke sana. Semakin hari, kunjungannya semakin banyak. Mereka melengkapi diri dengan membuka restoran, menyediakan penginapan, dan mengadakan berbagai macam kegiatan outbond. Kini berbagai kegiatan digelar untuk anak-anak di sana. Misalnya, berjalan-jalan mengenal tumbuh-tumbuhan, menanam pohon, memanen padi dan sayur, memberi makan rusa dan ternak (kambing, domba, sapi, kerbau), menangkap ikan, memandikan kerbau, dan membajak sawah. Dari sarana-sarana yang disediakan itulah mereka mendapat dana yang lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka sehari-hari.

Pemasukan pun didistribusikan dengan persentase yang telah disetujui bersama oleh seluruh anggota keluarga setelah dikurangi pengeluaran. Jika satu anggota keluarga ada pengeluaran khusus, seperti melahirkan atau hendak menyekolahkan anak, persentase itu ditambah dan anggota keluarga yang lain juga tidak berkeberatan. Semua dibicarakan bersama secara demokratis tanpa otokrasi.

Tekad mereka untuk hidup dengan lingkungan yang sejuk dan segar serta sehat dan berkontribusi bagi lingkungan, telah membuahkan rupiah yang akan terus berkembang karena pemerintah setempat telah memasukkan kampung itu sebagai kawasan wisata dan membuka kantor dinas pariwisatanya di sana. Jadi, penerapan konsep familiy back to nature tidak hanya dapat dinikmati oleh warga Kampung 99 Pepohonan itu sendiri tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas dan yang lebih penting adalah kontribusinya dalam membangun lingkungan.


Referensi

Hannigan, John. Environmental Sociology 2nd Edition. London and New York : Routledge.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2004/05/24/brk,20040524-14,id.html
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=11090
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=24146
http://www.indosiar.com/news/horison/74240_teduhnya-kampung-99-pepohonan



Ditulis oleh Endah Dwi Novianti
Mahasiswa Ilmu Sosiologi FISIP UI

[+/-] Selengkapnya...

Jalur Hijau dan Bike To School

Dunia disadarkan atas adanya permasalahan lingkungan hidup oleh isu global warming sejak pertengahan abad kedua puluh. Earth Summit Rio De Janeiro, Protokol Kyoto, dan Bali Road Map adalah bukti kepedulian masyarakat dunia terhadap permasalahan lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan. Isu global warming berkembang tidak sebatas permasalahan pemanasan global saja namun juga mencakup semua permasalahan lingkungan hidup di dunia, dari mulai pencairan es di kutub utara hingga manajemen sampah.

PBB menggelar konferensi-konferensi lingkungan hidup, Intergovernmental Panel On Climate Change terus melaporkan setiap perubahan alam yang terjadi, madia massa menyampaikan kepada publik dan masyarakat dunia mengkonsumsi informasi dan mendiskusikan isu-isu tersebut. Memperhatikan permasalahan lingkungan hidup merupakan bentuk kepedulian manusia terhadap alam namun kepedulian tersebut tidaklah cukup untuk dapat merubah dunia. Sebuah aksi nyata diperlukan untuk benar-benar merubah dunia menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan.

Latar Belakang

Indonesia memiliki daftar panjang permasalahan lingkungan hidup yang harus segera dipecahkan. Salah satu permasalahan tersebut adalah pencemaran udara yang diakibatkan oleh lalu lintas dan kendaraan bermotor. Setiap kendaraan bermotor menyumbang emisi karbon yang mencemari udara setiap harinya dan kemacetan memperburuk pencemaran udara karena kendaraan otomatis menambah jumlah emisi karbon yang disumbangkan.

Permasalahan pencemaran udara akibat transportasi umum terinspirasi dari kebiasaan siswa ketika terlambat masuk sekolah. Mayoritas siswa yang terlambat memberikan alasan berupa tuduhan terhadap supir angkutan kota maupun bus. Alasan klise ini apabila diuraikan mencakup indisipliner siswa, manajemen transportasi umum dan pencemaran udara.

Dari ketiga permasalahan diatas ditarik sebuah benang merah yaitu bagaimana cara agar siswa masuk sekolah tepat waktu dan tidak mencemarkan lingkungan dalam perjalanannya. Rumusan masalah ini diangkat dari permasalahan nyata pada siswa sekolah dasar hingga menengah atas didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa institusi pandidikan adalah lembaga terbaik untuk memulai perubahan yang nantinya diharapkan akan menyebar ke masyarakat luas. Sebelum mengkaji jalur hijau, etika lingkungan akan terlebih dahulu dikenalkan sebagai dasar pembangunan jalur hijau dan bike to school.

Etika Lingkungan

Permasalahan lingkungan hidup bersumber dari perilaku manusia. Cara pandang antroposentris yang menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan telah memposisikan alam hanya sebagai alat pemuas kebutuhan belaka. Manusia memiliki kekuasaan atas alam sehingga alam dapat dieksploitasi sesuai kehendak manusia.

Cara pandang antroposentris memiliki tiga kesalahan utama. Pertama, manusia dipahami sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dan berkembang hanya dalam komunitas sosial. Kedua, etika hanya berlaku dalam komunitas sosial. Kesalahan ketiga, antroposentris membatasi etika hanya berlaku bagi manusia sehingga makhluk lain selain manusia dan alam tidak pantas mendapatkan perlakuan etis.

Kesalahan etika antroposentris mendapatkan kritik dari etika ekosentris. Cara pandang ekosentris memposisikan manusia sebagai makhluk yang berinteraksi dan memiliki ketergantungan terhadap alam. Manusia menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan makhluk lainnya sehingga manusia hanya merupakan salah satu entitas di alam semesta bukan sebagai sang penguasa alam raya. Interaksi antara manusia, makhluk lain, dan alam membentuk sebuah komunitas ekologis. Cara pandang ekosentris menuntut diberlakukannya etika lingkungan sebagai konsekuensi logis bahwa komunitas ekologis termasuk sebuah komunitas moral.

Prinsip-prinsip etika lingkungan mencakup sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian, no harm, hidup sederhana dan selaras, prinsip keadilan, demokrasi, dan integritas moral. Etika lingkungan muncul atas kesadaran mengenai kesetaraan semua makhluk dalam komunitas ekologis yang menuntut terciptanya rasa cinta, kasih sayang, harmoni, dan tanggung jawab terhadap alam semesta.

Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia . Arne Naess mengatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Cara pandang manusia terhadap alam tidak mudah untuk diubah namun pemerintah sebagai institusi kekuasaan dapat memaksa masyarakat untuk mengubah kebiasaan hidup menjadi masyarakat yang peduli dan mematuhi etika lingkungan. Jalur hijau merupakan ‘paksaan’ pemerintah kepada masyarakat untuk merubah kebiasaan hidup yang kemudian akan mengubah cara pandang manusia terhadap alam.

Jalur Hijau

Setiap pagi mayoritas siswa pergi ke sekolah menggunakan transportasi umum. Siswa harus berebut dengan penumpang lain untuk mendapatkan tempat duduk bahkan bergelantungan di pintu angkutan umum. Hal ini dapat membahayakan keselamatan siswa karena angkutan umum mengangkut penumpang diatas kapasitas kendaraan. Meskipun angkutan umum penuh berjejalan, namun selalu ada siswa yang tidak mendapatkan angkutan umum sehingga harus menunggu dan terlambat. Kegiatan ini berulang ketika siswa pulang sekolah.

Gerakan bike to work telah digalakkan oleh komunitas-komunitas pecinta lingkungan. Gerakan ini dapat diadaptasi oleh siswa menjadi sebuah kegiatan rutin pergi ke sekolah menggunakan sepeda yang disebut bike to school. Permasalahan utama dari gerakan bike to school adalah melalui jalur apa siswa-siswi tersebut dapat bersepeda?


Apabila siswa bersepeda di jalan umum tentunya akan memperparah kemacetan dan keselamatan siswa ketika bersepeda tidak dapat dijamin. Apabila siswa bersepeda di trotoar tentu hak pejalan kaki akan terganggu. Oleh karena itu pemerintah harus membuat jalur hijau berupa jalur khusus bagi siswa pengguna sepeda.

Jalur hijau dibangun dengan lebar sekitar satu setengah meter sepanjang rute menuju sekolah berdampingan dengan jalan umum. Jalur hijau dibangun disebelah kiri jalan umum dan diantara jalur hijau dan jalan umum dibatasi oleh trotoar untuk menjamin keselamatan siswa pengguna sepeda. Setiap lima belas meter jalur hijau disediakan satu buah tempat sampah berselingan antara tempat sampah organik dan tempat sampah non-organik. Sepanjang jalur hijau akan lebih hijau apabila ditanami pepohonan sebagai penangkal polusi udara.

Pemerintah dalam membangun jalur hijau ini akan mengalami kendala-kendala dari para pengguna jalan. Kendala pertama adalah pengguna sepeda motor akan merasa difasilitasi jalan baru meskipun tertera rambu-rambu yang menjelaskan bahwa jalur hijau merupakan jalur khusus untuk siswa pengguna sepeda. Untuk mengatasi pengguna sepeda motor ini, pemerintah dapat membuat penghalang berupa jalan sempit mengerucut yang hanya cukup untuk dilewati satu sepeda pada awal dan akhir jalur hijau. Penghalang kerucut ini akan mempersulit pengguna sepeda motor apabila berniat memasuki jalur hijau.

Kemungkinan lain si pengguna sepeda motor taraf pelanggar akut akan menaiki trotoar dan menerobos jalur hijau, maka pemerintah harus membuat pagar setinggi setengah meter yang memisahkan jalan umum dan trotoar. Niscaya pengguna sepeda motor taraf pelanggar apapun akan jera apabila akses mereka ke jalur hijau diputuskan.

Kendala kedua datang dari para penjual kaki lima. Motto pedagang kaki lima adalah menggelar dagangan sedekat-dekatnya dengan jalan. Pembangunan jalur hijau akan dijadikan lapak baru bagi pengembangan usaha mereka. Jalur hijau yang teduh dan bersih menjadi target pasar yang menggiurkan para pedagang kaki lima. Untuk mengatasi pedagang kaki lima tidak perlu menurunkan pasukan satpol pamong praja, karena kekerasan bukanlah solusi.

Pemerintah dapat menjadikan jalur hijau menjadi pasar kaki lima yang bersih dan teratur dengan baik pada hari minggu dan hari libur nasional. Pasar kaki lima ini dapat menjadi daya tarik wisatawan dan masyarakat ketika menikmati liburan bersama keluarga. Masyarakat akan berbondong-bondong menuju pasar kaki lima sehingga jalan umum menjadi macet total. Keadaan ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menutup jalan setiap hari minggu sehingga masyarakat meninggalkan kendaraan bermotor dan beralih menggunakan sepeda atau jalan kaki menuju pasar kaki lima khas jalur hijau. Jalur hijau ternyata turut mensukseskan gerakan free car day.

Pasar kaki lima setiap liburan sekolah ini akan membentuk komunitas pedagang kaki lima khusus berjualan pada waktu yang ditentukan. Apabila ada pedagang kaki lima yang nekat berjualan di luar hari libur sekolah maka dengan sendirinya sanksi akan berdatangan dari sesama pedagang kaki lima. Sanksi sosial berupa hujatan dan pengucilan merupakan sanksi yang efektif dan mengakibatkan efek jera bagi si pelanggar daripada pengusiran oleh satpol pamong praja.

Kendala ketiga adalah mengenai perawatan jalur hijau. Kreatifitas siswa menuntut mereka untuk melakukan aksi corat-coret di berbagai fasilitas umum termasuk jalur hijau. Pada pembangunannya, jalur hijau tidak harus selalu berwarna hijau. Para siswa harus dilibatkan dalam pembuatan jalur hijau dengan diadakan kompetisi menggambar mural atau gravity berupa pesan-pesan untuk mencintai lingkungan sepanjang jalur hijau (seperti mural hasil kreasi anak Bandung di jalan Ganesha, Bandung). Apabila siswa dilibatkan dalam pembangunan jalur hijau maka rasa memiliki dan mencintai akan tertanam dalam benak siswa sehingga mereka akan merawat jalur hijau yang ‘menjadi miliknya’.

Pembangunan jalur hijau tentu akan memiliki kendala-kendala lain namun apabila manusia yang dikaruniai akal dan kratifitas selalu menjunjung tinggi etika lingkungan maka tidak perlu khawatir untuk mencoba dan memperbaiki kegagalan. Apabila pembangunan jalur hijau telah rampung, maka kita harus kembali ke sekolah untuk memaksa siswa agar mendukung jalur hijau karena apa manfaatnya kalau jalur hijau ada namun siswa enggan untuk bersepeda?

Kembali ke Sekolah

Setelah pemerintah selesai membuat jalur hijau bagi siswa pengguna sepeda ke sekolah maka bagian pihak sekolah untuk mendukung gerakan bike to school. Jalur hijau berfungsi apabila gerakan bike to school berjalan dengan baik. Permasalahan pertama adalah kepemilikan sepeda pada siswa. Bagaimana mau naik sepeda kalau sepedanya saja tidak punya?

Sekolah –disubsidi oleh pemerintah- membuat program kredit sepeda siswa. Jangan langsung menuduh sekolah telah beralih fungsi menjadi perusahaan waralaba. Program kredit sepeda ini memudahkan siswa untuk memiliki sepeda sebagai alat transportasi di jalur hijau. Apabila diasumsikan ongkos rata-rata siswa perhari adalah lima ribu rupiah, dalam dua ratus hari (atau sekitar satu tahun ajaran) maka akan terkumpul uang ongkos sebesar satu juta rupiah yang cukup untuk membeli sebuah sepeda dengan helm dan peralatan keamanan standar. Sepeda ini dapat dipakai tiga tahun ajaran bahkan dapat diwariskan kepada adik kelas sehingga biaya transportasi siswa dapat dihemat dalam jangka panjang dan dapat dialokasikan untuk membeli buku atau peningkatan mutu gizi siswa.

Kebijakan kedua yang harus diambil sekolah adalah pemungutan biaya parkir. Untuk menekan siswa pengguna kendaraan bermotor, sekolah dapat menerapkan biaya parkir sebesar lima ribu rupiah untuk sepeda motor, dua puluh ribu rupiah untuk mobil dan gratis untuk sepeda. Biaya parkir ini lagi-lgi bukan untuk tujuan komersialisme, dengan biaya parkir yang tinggi siswa pengguna kendaraan bermotor akan beralih menggunakan sepeda.

Biaya parkir kendaraan bermotor (termasuk kendaraan bermotor kepala sekolah dan guru) dialokasikan untuk membuat bengkel sepeda di dalam sekolah. Pihak sekolah dapat membuat workshop perawatan hingga modifikasi sepeda bagi siswa agar kreatifitas siswa terpacu. Pengurus, pemilik modal, montir sepeda, dan pelanggan semuanya berasal dari siswa. Bengkel sepeda ini juga bisa dijadikan sarana magang bagi siswa.

Sekolah dapat membentuk komunitas pecinta sepeda sebagai wadah untuk berbagi pengalaman dari satu siswa ke siswa lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dan mulai dari sekolah hingga ke masyarakat. Komunitas sepeda siswa selain membahas sepeda juga diarahkan untuk melakukan diskusi, gerakan dan perubahan-perubahan bagi kelestarian lingkungan hidup.

Jalur hijau dan gerakan bike to school adalah kolaborasi nyata antara pemerintah dan institusi pendidikan dalam merubah cara pandang masyarakat untuk peduli pada kelestarian lingkungan hidup. Program ini dapat meningkatkan kualitas kesehatan siswa, mengurangi pencemaran udara, dan menjadikan institusi pendidikan sebagai teladan masyarakat. Mari membuat dunia menjadi tempat yang nyaman untuk kehidupan. Semoga terealisasi!


Referensi

Hobbs, F.D. 1995. Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.
Sale, Kirkpatrick. 1995. Revolusi Hijau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.



Ditulis oleh Muhammad Rizqan Adhima
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI

[+/-] Selengkapnya...

Self Help, Help Others... and Earth!

Community development (Comdev) BEM FISIP UImerupakan sebuah program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Departemen Sosial Masyarakat BEM FSIP UI untuk menjadikan sasaran (peserta) kegiatan ini -pemuda RT 09/03 Kelurahan Kemi Muka Depok- dapat menjadi manusia yang lebih baik -baik secara spiritual maupun finansial-, serta mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan bagi masyarakat di sekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut, Sosmas BEM FISIP UI mengadakan berbagai macam kegiatan, antara lain kegiatan pembinaan spiritual dan motivasi serta pembinaan kewirausahaan. Demi menunjang kegiatan kewirausahaan, peserta diberikan berbagai keterampilan: membuat kertas daur ulang, membuat kotak pensil dari botol minuman plastik, dan membuat briket -bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.



Daur Ulang Kertas dan Botol Minuman
Para peserta Comdev pernah diajarkan untuk membuat kertas daur ulang dan kotak pensil dari bahan baku botol minuman plastik. Kedua hal tersebut merupakan pemanfaatan sampah yang telah tidak terpakai lagi. Sampah-sampah kertas BEM FISIP UI kami olah menjadi kertas daur ulang yang cantik. Sedangkan sampah botol-botol minuman yang banyak kami temui di kampus diolah menjadi tempat pensil yang menarik.






Pembuatan Bahan Bakar Briket
Briket ialah sebuah bahan bakar alternatif ramah lingkungan yang bahan bakunya berasal dari sampah serbuk kayu. Mengambil sampah serbuk kayu yang tidak dipakai lagi dari sebuah toko kayu kayu di depok, lantas serbuk kayu tersebut diproses melalui beberapa tahapan, yaitupengarangan, penepungan, pengeleman, pencetakan dan pengeringan, hingga akhirnya menjadi briket. Briket dari serbuk kayu ini merupakan bahan bakar yang murah -sehingga dapat meringankan beban warga sekitar-, serta ramah lingkungan karena merupakan daur ulang dari sampah dan tidak menghasilkan emisi yang tinggi.

Melalui program Comdev ini diharapkan para peserta memiliki motivasi untuk berwirausaha/bekerja, memiliki usaha bersama-sama dan menjalankan usaha tersebut. Program ini diharapkan juga dapat menjadikan para pesertanya sebagai pelopor bagi pemuda setempat lainnya untuk berkembang, dan kemudian dapat mengurangi pengangguran di Depok. Semoga program Comdev ini dapat membantu para peserta meningkatkan kualitas hidupnya. Tidak hanya itu, kami juga berharap pembuatan briket dalam program Comdev ini dapat membantu meringankan beban masyarakat sekitar peserta. Harga bahan bakar briket yang murah, kami harap dapat membantu warga yang sulit mendapatkan gas dan minyak tanah karena melambungnya harga kedua bahan bakar tersebut.

Sekali lagi, Sosmas BEM FISIP UI berharap program Comdev ini dapat membuat pesertanya menolong mereka sendiri, membantu warga sekitar dan  membantu menyelamatkan bumi melalui pemanfaatan barang-barang bekas dan pembuatan bahan bakar yang ramah lingkungan. Self help, help others, and... earth!

Oia, satu hal lagi: Kepada para peserta Comdev, selamat bergabung menjadi sahabat bumi!


Ditulis oleh Rifa Mulyawan
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI
Kepala Departemen Sosial Masyarakat BEM FISIP UI


[+/-] Selengkapnya...

Kalau Mau, Kita Mampu

Dalam kurun waktu terakhir ini kita semakin sering diingatkan mengenai eratnya keterkaitan antara kualitas lingkungan dan terpeliharanya sumber daya alam dengan kondisi kehidupan kita. Dalam pesan ini terdapat pengertian bahwa untuk mengusahakan terciptanya lingkungan yang sehat merupakan basis bagi kualitas kehidupan kita bersama. Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu upaya pelestarian alam?

Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab sosial dan peduli pada lingkungan, maka kita harus mempunyai perilaku tertentu. Kita dapat memulainya dengan menerapkan gaya hidup yang sehat, sederhana, alamiah serta ramah lingkungan. Hal tersebut dapat kita wujudkan dengan membiasakan menjaga kebersihan -seperti membuang sampah pada tempatnya yang dapat mengurangi polusi tanah dan udara-, menghematan energi dengan menggunakan bola lampu hemat energi, mengurangi penggunaan AC, dan menggunakan peralatan elektornik secara bijak. Penghematan listrik dapat mengurangi gas emisi rumah kaca yang dapat mengakibatkan pemanasan global. Contohnya, setiap kali kita mengurangi suhu AC 2 derajat seriap harinya maka akan mengurangi sekitar 1 ton karbon dioksida (CO2) setiap tahun.

Kita juga bisa memulai gaya hidup sehat sekaligus ramah lingkungan dengan tidak merokok dan mengurangi asap knalpot melalui penggunaan kendaraaan bermotor seperlunya saja -selebihnya manfaatkan sepeda, kendaraan umum dan berjalan kaki untuk jarak dekat. Disamping mengurangi polusi, langkah tersebut juga dapat menghemat pengeluaran kita. Menanam pohon di sekitar tempat tinggal kita tentunya juga menjadi hal penting namun mudah untuk kita lakukan. Tanaman sederhana saja seperti spider plant bisa mengurangi jumlah karbondioksida di sekitarnya sampai 60 persen. Hal lain yang dapat kita kerjakan ialah mencoba membiasakan diri untuk menggunakan kertas bolak-balik dan menggunakan keranjang permanen untuk berbelanja.

Siapapun kita, masing-masing dari diri kita memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk suatu masyarakat yang “bersahabat” dengan lingkungan. Mungkin sebagian orang masih mengatakan menjadi sahabat bumi alias menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan itu sulit, namun sebenarnya kita bisa melakukannya asalkan memiliki komitmen yang tinggi. Ya, kita mampu, kalau kita mau. Karena itu mari kita mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan!


Ditulis oleh Chira Chumaira
Mahasiswa Administrasi Niaga FISIP UI
Staf Departemen Sosial Masyarakat BEM FISIP UI

[+/-] Selengkapnya...