PBB menggelar konferensi-konferensi lingkungan hidup, Intergovernmental Panel On Climate Change terus melaporkan setiap perubahan alam yang terjadi, madia massa menyampaikan kepada publik dan masyarakat dunia mengkonsumsi informasi dan mendiskusikan isu-isu tersebut. Memperhatikan permasalahan lingkungan hidup merupakan bentuk kepedulian manusia terhadap alam namun kepedulian tersebut tidaklah cukup untuk dapat merubah dunia. Sebuah aksi nyata diperlukan untuk benar-benar merubah dunia menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan.
Latar Belakang
Indonesia memiliki daftar panjang permasalahan lingkungan hidup yang harus segera dipecahkan. Salah satu permasalahan tersebut adalah pencemaran udara yang diakibatkan oleh lalu lintas dan kendaraan bermotor. Setiap kendaraan bermotor menyumbang emisi karbon yang mencemari udara setiap harinya dan kemacetan memperburuk pencemaran udara karena kendaraan otomatis menambah jumlah emisi karbon yang disumbangkan.
Permasalahan pencemaran udara akibat transportasi umum terinspirasi dari kebiasaan siswa ketika terlambat masuk sekolah. Mayoritas siswa yang terlambat memberikan alasan berupa tuduhan terhadap supir angkutan kota maupun bus. Alasan klise ini apabila diuraikan mencakup indisipliner siswa, manajemen transportasi umum dan pencemaran udara.
Dari ketiga permasalahan diatas ditarik sebuah benang merah yaitu bagaimana cara agar siswa masuk sekolah tepat waktu dan tidak mencemarkan lingkungan dalam perjalanannya. Rumusan masalah ini diangkat dari permasalahan nyata pada siswa sekolah dasar hingga menengah atas didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa institusi pandidikan adalah lembaga terbaik untuk memulai perubahan yang nantinya diharapkan akan menyebar ke masyarakat luas. Sebelum mengkaji jalur hijau, etika lingkungan akan terlebih dahulu dikenalkan sebagai dasar pembangunan jalur hijau dan bike to school.
Etika Lingkungan
Permasalahan lingkungan hidup bersumber dari perilaku manusia. Cara pandang antroposentris yang menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan telah memposisikan alam hanya sebagai alat pemuas kebutuhan belaka. Manusia memiliki kekuasaan atas alam sehingga alam dapat dieksploitasi sesuai kehendak manusia.
Cara pandang antroposentris memiliki tiga kesalahan utama. Pertama, manusia dipahami sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dan berkembang hanya dalam komunitas sosial. Kedua, etika hanya berlaku dalam komunitas sosial. Kesalahan ketiga, antroposentris membatasi etika hanya berlaku bagi manusia sehingga makhluk lain selain manusia dan alam tidak pantas mendapatkan perlakuan etis.
Kesalahan etika antroposentris mendapatkan kritik dari etika ekosentris. Cara pandang ekosentris memposisikan manusia sebagai makhluk yang berinteraksi dan memiliki ketergantungan terhadap alam. Manusia menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan makhluk lainnya sehingga manusia hanya merupakan salah satu entitas di alam semesta bukan sebagai sang penguasa alam raya. Interaksi antara manusia, makhluk lain, dan alam membentuk sebuah komunitas ekologis. Cara pandang ekosentris menuntut diberlakukannya etika lingkungan sebagai konsekuensi logis bahwa komunitas ekologis termasuk sebuah komunitas moral.
Prinsip-prinsip etika lingkungan mencakup sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian, no harm, hidup sederhana dan selaras, prinsip keadilan, demokrasi, dan integritas moral. Etika lingkungan muncul atas kesadaran mengenai kesetaraan semua makhluk dalam komunitas ekologis yang menuntut terciptanya rasa cinta, kasih sayang, harmoni, dan tanggung jawab terhadap alam semesta.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia . Arne Naess mengatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Cara pandang manusia terhadap alam tidak mudah untuk diubah namun pemerintah sebagai institusi kekuasaan dapat memaksa masyarakat untuk mengubah kebiasaan hidup menjadi masyarakat yang peduli dan mematuhi etika lingkungan. Jalur hijau merupakan ‘paksaan’ pemerintah kepada masyarakat untuk merubah kebiasaan hidup yang kemudian akan mengubah cara pandang manusia terhadap alam.
Jalur Hijau
Setiap pagi mayoritas siswa pergi ke sekolah menggunakan transportasi umum. Siswa harus berebut dengan penumpang lain untuk mendapatkan tempat duduk bahkan bergelantungan di pintu angkutan umum. Hal ini dapat membahayakan keselamatan siswa karena angkutan umum mengangkut penumpang diatas kapasitas kendaraan. Meskipun angkutan umum penuh berjejalan, namun selalu ada siswa yang tidak mendapatkan angkutan umum sehingga harus menunggu dan terlambat. Kegiatan ini berulang ketika siswa pulang sekolah.
Gerakan bike to work telah digalakkan oleh komunitas-komunitas pecinta lingkungan. Gerakan ini dapat diadaptasi oleh siswa menjadi sebuah kegiatan rutin pergi ke sekolah menggunakan sepeda yang disebut bike to school. Permasalahan utama dari gerakan bike to school adalah melalui jalur apa siswa-siswi tersebut dapat bersepeda?
Apabila siswa bersepeda di jalan umum tentunya akan memperparah kemacetan dan keselamatan siswa ketika bersepeda tidak dapat dijamin. Apabila siswa bersepeda di trotoar tentu hak pejalan kaki akan terganggu. Oleh karena itu pemerintah harus membuat jalur hijau berupa jalur khusus bagi siswa pengguna sepeda.
Jalur hijau dibangun dengan lebar sekitar satu setengah meter sepanjang rute menuju sekolah berdampingan dengan jalan umum. Jalur hijau dibangun disebelah kiri jalan umum dan diantara jalur hijau dan jalan umum dibatasi oleh trotoar untuk menjamin keselamatan siswa pengguna sepeda. Setiap lima belas meter jalur hijau disediakan satu buah tempat sampah berselingan antara tempat sampah organik dan tempat sampah non-organik. Sepanjang jalur hijau akan lebih hijau apabila ditanami pepohonan sebagai penangkal polusi udara.
Pemerintah dalam membangun jalur hijau ini akan mengalami kendala-kendala dari para pengguna jalan. Kendala pertama adalah pengguna sepeda motor akan merasa difasilitasi jalan baru meskipun tertera rambu-rambu yang menjelaskan bahwa jalur hijau merupakan jalur khusus untuk siswa pengguna sepeda. Untuk mengatasi pengguna sepeda motor ini, pemerintah dapat membuat penghalang berupa jalan sempit mengerucut yang hanya cukup untuk dilewati satu sepeda pada awal dan akhir jalur hijau. Penghalang kerucut ini akan mempersulit pengguna sepeda motor apabila berniat memasuki jalur hijau.
Kemungkinan lain si pengguna sepeda motor taraf pelanggar akut akan menaiki trotoar dan menerobos jalur hijau, maka pemerintah harus membuat pagar setinggi setengah meter yang memisahkan jalan umum dan trotoar. Niscaya pengguna sepeda motor taraf pelanggar apapun akan jera apabila akses mereka ke jalur hijau diputuskan.
Kendala kedua datang dari para penjual kaki lima. Motto pedagang kaki lima adalah menggelar dagangan sedekat-dekatnya dengan jalan. Pembangunan jalur hijau akan dijadikan lapak baru bagi pengembangan usaha mereka. Jalur hijau yang teduh dan bersih menjadi target pasar yang menggiurkan para pedagang kaki lima. Untuk mengatasi pedagang kaki lima tidak perlu menurunkan pasukan satpol pamong praja, karena kekerasan bukanlah solusi.
Pemerintah dapat menjadikan jalur hijau menjadi pasar kaki lima yang bersih dan teratur dengan baik pada hari minggu dan hari libur nasional. Pasar kaki lima ini dapat menjadi daya tarik wisatawan dan masyarakat ketika menikmati liburan bersama keluarga. Masyarakat akan berbondong-bondong menuju pasar kaki lima sehingga jalan umum menjadi macet total. Keadaan ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menutup jalan setiap hari minggu sehingga masyarakat meninggalkan kendaraan bermotor dan beralih menggunakan sepeda atau jalan kaki menuju pasar kaki lima khas jalur hijau. Jalur hijau ternyata turut mensukseskan gerakan free car day.
Pasar kaki lima setiap liburan sekolah ini akan membentuk komunitas pedagang kaki lima khusus berjualan pada waktu yang ditentukan. Apabila ada pedagang kaki lima yang nekat berjualan di luar hari libur sekolah maka dengan sendirinya sanksi akan berdatangan dari sesama pedagang kaki lima. Sanksi sosial berupa hujatan dan pengucilan merupakan sanksi yang efektif dan mengakibatkan efek jera bagi si pelanggar daripada pengusiran oleh satpol pamong praja.
Kendala ketiga adalah mengenai perawatan jalur hijau. Kreatifitas siswa menuntut mereka untuk melakukan aksi corat-coret di berbagai fasilitas umum termasuk jalur hijau. Pada pembangunannya, jalur hijau tidak harus selalu berwarna hijau. Para siswa harus dilibatkan dalam pembuatan jalur hijau dengan diadakan kompetisi menggambar mural atau gravity berupa pesan-pesan untuk mencintai lingkungan sepanjang jalur hijau (seperti mural hasil kreasi anak Bandung di jalan Ganesha, Bandung). Apabila siswa dilibatkan dalam pembangunan jalur hijau maka rasa memiliki dan mencintai akan tertanam dalam benak siswa sehingga mereka akan merawat jalur hijau yang ‘menjadi miliknya’.
Pembangunan jalur hijau tentu akan memiliki kendala-kendala lain namun apabila manusia yang dikaruniai akal dan kratifitas selalu menjunjung tinggi etika lingkungan maka tidak perlu khawatir untuk mencoba dan memperbaiki kegagalan. Apabila pembangunan jalur hijau telah rampung, maka kita harus kembali ke sekolah untuk memaksa siswa agar mendukung jalur hijau karena apa manfaatnya kalau jalur hijau ada namun siswa enggan untuk bersepeda?
Kembali ke Sekolah
Setelah pemerintah selesai membuat jalur hijau bagi siswa pengguna sepeda ke sekolah maka bagian pihak sekolah untuk mendukung gerakan bike to school. Jalur hijau berfungsi apabila gerakan bike to school berjalan dengan baik. Permasalahan pertama adalah kepemilikan sepeda pada siswa. Bagaimana mau naik sepeda kalau sepedanya saja tidak punya?
Sekolah –disubsidi oleh pemerintah- membuat program kredit sepeda siswa. Jangan langsung menuduh sekolah telah beralih fungsi menjadi perusahaan waralaba. Program kredit sepeda ini memudahkan siswa untuk memiliki sepeda sebagai alat transportasi di jalur hijau. Apabila diasumsikan ongkos rata-rata siswa perhari adalah lima ribu rupiah, dalam dua ratus hari (atau sekitar satu tahun ajaran) maka akan terkumpul uang ongkos sebesar satu juta rupiah yang cukup untuk membeli sebuah sepeda dengan helm dan peralatan keamanan standar. Sepeda ini dapat dipakai tiga tahun ajaran bahkan dapat diwariskan kepada adik kelas sehingga biaya transportasi siswa dapat dihemat dalam jangka panjang dan dapat dialokasikan untuk membeli buku atau peningkatan mutu gizi siswa.
Kebijakan kedua yang harus diambil sekolah adalah pemungutan biaya parkir. Untuk menekan siswa pengguna kendaraan bermotor, sekolah dapat menerapkan biaya parkir sebesar lima ribu rupiah untuk sepeda motor, dua puluh ribu rupiah untuk mobil dan gratis untuk sepeda. Biaya parkir ini lagi-lgi bukan untuk tujuan komersialisme, dengan biaya parkir yang tinggi siswa pengguna kendaraan bermotor akan beralih menggunakan sepeda.
Biaya parkir kendaraan bermotor (termasuk kendaraan bermotor kepala sekolah dan guru) dialokasikan untuk membuat bengkel sepeda di dalam sekolah. Pihak sekolah dapat membuat workshop perawatan hingga modifikasi sepeda bagi siswa agar kreatifitas siswa terpacu. Pengurus, pemilik modal, montir sepeda, dan pelanggan semuanya berasal dari siswa. Bengkel sepeda ini juga bisa dijadikan sarana magang bagi siswa.
Sekolah dapat membentuk komunitas pecinta sepeda sebagai wadah untuk berbagi pengalaman dari satu siswa ke siswa lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dan mulai dari sekolah hingga ke masyarakat. Komunitas sepeda siswa selain membahas sepeda juga diarahkan untuk melakukan diskusi, gerakan dan perubahan-perubahan bagi kelestarian lingkungan hidup.
Jalur hijau dan gerakan bike to school adalah kolaborasi nyata antara pemerintah dan institusi pendidikan dalam merubah cara pandang masyarakat untuk peduli pada kelestarian lingkungan hidup. Program ini dapat meningkatkan kualitas kesehatan siswa, mengurangi pencemaran udara, dan menjadikan institusi pendidikan sebagai teladan masyarakat. Mari membuat dunia menjadi tempat yang nyaman untuk kehidupan. Semoga terealisasi!
Referensi
Hobbs, F.D. 1995. Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.
Sale, Kirkpatrick. 1995. Revolusi Hijau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ditulis oleh Muhammad Rizqan Adhima
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI
|