Pesisir dalam Pemanasan Global

Krisis lingkungan yang kini tengah melanda ibu pertiwi, memicu meningkatnya kepedulian masyarakat pada isu-isu lingkungan seperti kampanye kurangi dampak pemanasan global. Dimulai dari slogan reduce reuse recycle di TV, majalah, koran, tas dan berbagai media cetak, dan elektronik lainnya, kampanye dari hampir seluruh institusi yang berdiri dalam bidang sosial agar masyarakat menanam pohon, mendaur ulang sampahnya, sampai hemat pemakaian energi. Semua kegiatan kepedulian lingkungan tersebut mengisyaratkan bahwa konteks lingkungan hanya terbatas pada hijaunya daratan seperti hutan tropis Indonesia, yang bernilai sangat tinggi dan menjadi salah satu aset penting devisa negara.

Predikat Indonesia sebagai negara penghancur hutan nomor satu di dunia dengan perkiraan 2 hektar hutan dirambah setiap jamnya, ditambah dengan banjir yang semakin tidak terkontrol karena berkurangnya hutan serapan, membuat pemerintah dan LSM-LSM memfokuskan diri pada penyelamatan lingkungan yang terfokus pada daratan. Salah satu indikator bahwa gerakan penyelamatan lingkungan terfokus pada daratan, adalah banyaknya iklan-iklan layanan masyarakat menanam pohon, daur ulang sampah dan sanitasi air yang semua berada di daratan.

Namun, fenomena bahwa konteks lingkungan adalah hijau yang menyimbolkan hutan tropis, sepertinya telah mengesampingkan perhatian pemerintah dan masyarakat akan kekayaan nusantara yang sama mahalnya, yaitu kekayaan laut kita yang biru. Saat semua sedang menggalakkan penyelamatan lingkungan di darat dalam rangka mengurangi efek pemanasan global, laut kita perlahan tapi pasti, juga merasakan dampak dari pemanasan global. Terumbu karangnya memutih, arus air panas dan dingin menjadi kacau, dan badai juga menjadi semakin ganas dan sering. Itu semua tentunya berdampak pada jumlah hasil tangkapan para nelayan di pesisir dan tentunya berdampak pada semakin rendahnya taraf kesejahteraan hidup mereka.

Dan tidak hanya itu, kenyataan bahwa sebagian besar penduduk pesisir adalah masyarakat miskin, mereka tidak mengerti bagaimana berperilaku ramah pada lautnya. Untuk mendapatkan sekeranjang ikan, tidak sedikit dari mereka yang masih memakai pukat harimau, atau alat-alat eksploitatif yang semakin merusak biota laut kita. Intinya, penyesuaian dan segala tindakan dalam menangani global warming tidak bisa setengah-setengah, pesisir pun perlu diperhatikan. Namun sepertinya perhatian pemerintah masih jauh dari pesisir.

Menjadi sahabat bumi berarti juga memperhatikan kondisi laut, karena laut juga merupakan salah satu bagian utama dari bumi. Jadilah sahabat bumi yang tidak hanya menyayangi daratan, tetapi juga lautan. Mari kita jaga laut kita, serukan kecintaan ini pada mereka yang masih belum peduli akan laut nusantara. 


Ditulis oleh Ajeng Rahmani Rijadi
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI
Wakil Ketua Umum BEM FISIP UI