When I Was A Child…
“Buanglah Sampah pada Tempatnya” atau “Matikan Lampu Jika Tidak Dipakai”. Jargon-jargon seperti itu seringkali terdengar ketika penulis masih menjadi bocah cilik yang tidak mengerti mengapa hal-hal itu perlu dilakukan. Sederhana. Tetapi apakah peringatan-peringatan tersebut masuk ke dalam alam bawah sadar seorang bocah cilik dan kemudian mendorongnya untuk melakukan hal tersebut seolah-olah merupakan sebuah norma masyarakat? Jawaban akan pertanyaan ini pada dasarnya sudah ada di benak masing-masing dari kita.
Penulis cenderung bersikap jujur dan menjawab “Tidak” untuk pertanyaan di atas. Secara faktual, di Indonesia, kepribadian hijau bukanlah sebuah norma umum (common sense) yang harus berada di bawah tudung ketakutan akan adanya sebuah hukuman yang tersimpan di alam bawah sadar seorang bocah cilik. Pikiran yang biasanya menjadi bahan argumen seorang bocah adalah: “Buat apa buang sampah pada tempatnya? Toh Ayah juga membuang sampah di tengah jalan dan tidak ada yang marah atau menegur” atau “Walaupun lampu tidak dimatikan ketika tidak dipakai, toh Ibu tidak marah, dan esok hari lampu masih menyala” atau “Air tidak pernah habis meskipun ketika Kakak menggosok gigi kran air tak henti mengucur.”
Bedakan dengan kondisi bocah cilik di negara maju, taruhlah Australia , membuang sampah pada tempatnya merupakan sebuah tindakan yang digerakkan oleh alam bawah sadar. Penulis mencoba menghindari generalisasi dengan mengatakan bahwa “Membuang Sampah Pada Tempatnya” di negara maju merupakan fenomena dan “Membuang Sampah Tidak Pada Tempatnya” merupakan kasus. Sebaliknya, di negara berkembang, taruhlah Indonesia, bocah cilik yang secara sadar melalui keinginannya sendiri “Membuang Sampah Pada Tempatnya” adalah sejumlah kasus di tengah fenomena ketidak patuhan.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan. Berusaha pula untuk menghindari kesimpulan yang mengarah pada persoalan ekonomi, penulis berpendapat bahwa persoalan sesungguhnya berada di alam pikiran manusia yang senantiasa mengkonstruksi dan memahami keadaan di sekitarnya. Persoalan lingkungan memang terkait dengan persoalan ekonomi, sosial, hingga politik, namun tidak bijaksana jika menyalahkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik untuk mengorbankan kelestarian lingkungan. Melalui rekonstruksi pikiran terhadap seorang bocah cilik, penulis berpendapat bahwa sustainabilitas lingkungan jangka panjang akan menunjukkan satu titik cerah. Semakin banyak titik cerah yang muncul, niscaya masa depan bumi tidak lagi kelam.
Penekanan pada ilustrasi di atas adalah proses internalisasi mengenai pola hidup hijau yang hendaknya diawali sedini mungkin. Tidak hanya dengan jargon-jargon, tidak dengan ceramah, maupun perkataan, tetapi dengan tindakan nyata yang dimulai oleh masing-masing individu dewasa yang berada di lingkungan tumbuh kembang seorang anak. Mengadopsi serta menganalogikan perspektif realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional terhadap isu ini, bahwa dalam menciptakan sebuah compliance suatu negara, terkadang cara-cara koersif dapat dibenarkan. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa Indonesia dengan watak yang sedemikian memerlukan seorang diktator yang kuat untuk merekonstruksi pilar-pilar kenegaraan agar tidak hanya kuat di permukaan namun juga di landasannya. Jika asumsi ini dipersempit dalam konteks internalisasi pola hidup hijau, maka cara-cara koersif (tidak selalu dalam bentuk fisik, dapat pula dalam bentuk psikis) dapat dipergunakan.
Idealnya, kontribusi saya sebagai bocah cilik adalah memproses informasi-informasi yang terkumpul, tidak hanya melalui pesan-pesan, jargon-jargon, simbol-simbol, namun juga perilaku manusia dewasa di sekitarnya yang yang akan dipahami sebagai norma. Selanjutnya dia akan menjadi agen penerus perilaku ketika dia tumbuh menjadi manusia dewasa. Namun secara realita, di Indonesia kontribusi yang sedemikian masih sulit untuk terwujud. Bocah cilik yang tidak memperoleh dasar perilaku hijau, hanya akan menjadi agen penerus perilaku ‘tidak sadar lingkungan’ kepada generasi selanjutnya. Ibarat kepompong, dia menyerap segala yang diberikan dan diperlihatkan untuk membentuk sebuah jiwa di kemudian hari.
Then I Was Grown Up…
"Tak kenal maka tak sayang.” Jargon yang amat pantas untuk menganalogikan hubungan antara manusia dan kesadaran lingkungan (environmental consciousness). Kini seorang bocah cilik sudah tumbuh sebagai remaja. Sebuah kasus jika si bocah memperoleh pendidikan secara baik, memiliki akses terhadap pengetahuan, mengolah pengetahuan yang didapatnya secara baik, dan akhirnya memiliki empati yang besar terhadap isu-isu lingkungan hidup. Ia ‘kenal’ akan isu lingkungan hidup yang terjadi terhadap bumi, maka lahir rasa ‘sayang’-nya terhadap bumi serta kemudian memahami pesan penting dari jargon-jargon masa kecilnya: “Buanglah Sampah Pada Tempatnya”, “Matikan Lampu Jika Tidak Terpakai”, dan sebagainya. Sayangnya, di negara kita yang tercinta hal seperti ini hanyalah segelintir kasus dan remaja-remaja sadar lingkungan pun serupa oase di tengah padang pasir yang sangat luas. Tidak adanya pendidikan lingkungan sejak dini dan perilaku orang-orang sekitar yang tidak memiliki budaya cinta lingkungan tidak dapat dipungkiri menjadi faktor utama lemahnya kesadaran lingkungan di Indonesia.
Pada dasarnya ada strategi ampuh dalam sosialisasi faham-faham lingkungan terhadap remaja usia belasan yaitu penciptaan tren sadar lingkungan yang kini mulai banyak dilakukan pula oleh brand-brand gaya hidup populer. Kaum remaja merupakan media yang potensial dalam mempopulerkan sebuah budaya atau gaya hidup. Sebagai ilustrasi, kita dapat melihat betapa budaya populer seperti bahasa slang, fenomena boyband, gaya rambut, dan gaya busana membidik kaum remaja sebagai media pemasaran. Kaum remaja yang dinamis dan penuh rasa ingin tahu serta aktualisasi diri yang tinggi memudahkan sebuah produk untuk mensosialisasikan pesan produknya. Hal serupa dapat terjadi pada ‘gaya hidup hijau’ di mana pesan-pesan pelestarian lingkungan diaplikasikan dalam pola hidup sehari-hari.
Mengambil contoh pesan dan strategi yang ditawarkan The Body Shop dalam memasarkan produk-produk perawatan tubuhnya. Penggunaan produk The Body Shop, yang di kalangan remaja dianggap sebagai hal yang populer, secara tidak langsung berhasil men-sosialisasi-kan gaya hidup cinta lingkungan kepada kaum muda. Ketika menggunakan produk The Body Shop atau menggunakan tas pakai ulang (green bag) merupakan sebuah tren masa kini, maka secara optimistis dapat dikatakan bahwa pesan lingkungan berhasil diinduksi ke kalangan remaja. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan strategi ‘tren’ ini mampu membawa pesan-pesan lingkungan ke dalam cakupan masyarakat yang lebih luas. Meskipun outcomes yang dapat dicapai tidak selamanya sampai dalam taraf menghayati pesan-pesan lingkungan tersebut, sosialisasi faham-faham hijau dapat merambah kelompok-kelompok yang pada awalnya awam akan hal tersebut.
Lalu saya sebagai generasi muda yang kini sudah tahu ‘keberadaan’ isu lingkungan, harus bagaimana? Penulis mengaktualisasinya dalam gaya populis dan sedikit utopis: mulailah dari hal kecil! Tidak sulit bagi kita untuk mematikan air dan listrik ketika tidak diperlukan, atau membuang sampah pada tempatnya, atau menggunakan produk-produk ramah lingkungan (yang kini pun sudah mulai populer), atau menghindari penggunaan plastik jika tas ransel sekolah kita masih mampu menampung berbagai barang yang kita belanjakan. Tidak pun mengeluarkan uang atau tenaga yang berlebihan. Kontribusi seorang remaja yang dipupuk dalam dirinya secara tidak langsung mengurangi beban bumi dalam memenuhi kebutuhan manusia.
And Me Being A Student…
Kini saya adalah manusia dewasa yang memiliki pola pikir yang kokoh, kemampuan menilai yang cukup matang, dan aktualisasi diri yang lebih terencana. Dalam fase yang sedemikian, ada anggapan bahwa akan lebih mudah untuk menjalankan gaya hidup hijau. Anggapan tersebut tidak pula benar. Justru sampainya saya ke tahap kedewasaan memberikan beban dan tanggung jawab dua kali lipat lebih besar untuk mengenalkan kepada orang-orang di sekitar mengenai gaya hidup hijau. Jika saya sudah mengerti, maka buatlah sebanyak mungkin orang untuk juga mengerti. Dengan demikian upaya ini tidak berjalan dengan sebelah kaki tanpa tangan dan kepala. Upaya pelestarian lingkungan harus dilakukan dengan peran serta aktif dari seluruh pihak. Terlebih saya kini seorang pelajar yang seharusnya menunjukkan kepribadian sebagai orang yang terdidik.
Mendidik diri sendiri sudah dilakukan di kala balita dan remaja, kini saatnya mencoba mendidik orang lain untuk menanamkan etos yang sama. Hal ini dapat dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal dalam tataran umur. Yang muda mengingatkan yang tua, yang tua menegur yang muda, dan golongan sebaya saling bekerjasama. Peran agen penggerak bagi masyarakat ini dapat dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan akses-akses lembaga pendidikan dan organisasi. Komunitas kampus sarat dengan pengadaan event-event yang mengatasnamakan aktualisasi diri generasi muda. Generasi muda dengan pengetahuan, pemahaman, internalisasi mengenai subyek lingkungan secara mapan, disertai dengan akses terhadap pesan-pesan lingkungan yang disampaikan berbagai media komunikasi, hendaknya semakin menanamkan pola hidup hijau dalam kehidupan sehari-hari serta mampu mentransfer segala pengetahuannya dengan jalan mengadakan berbagai kegiatan sadar lingkungan. Contohnya, momen Hari Tanpa Televisi disosialisasikan dalam kemasan yang unik namun tetap menonjolkan pesan inti yang ingin disampaikan. Atau program hiburan dengan menyelipkan pesan-pesan khas musisi hijau yang dapat dinikmati sambil mendengarkan alunan musik mereka. Atau menggalang dana melalui penjualan merchandise untuk mengadopsi badak Jawa.
Bukan bermaksud menutup mata terhadap fenomena bahwa upaya-upaya sedemikian hanya akan menyentuh permukaan saja tanpa merasuk ke dalam pikiran dan menciptakan penghayatan yang kuat akan pentingnya upaya pelestarian lingkungan. Tetapi seringnya bersinggungan dan bercengkerama dengan hal-hal yang sama serta adanya strategi ‘tren hijau’ bukan tidak mungkin lambat laun mampu menyadarkan masyarakat mengenai esensi lingkungan hidup. Mahasiswa dengan kemampuan eventualisasi yang lebih matang hendaknya terpacu untuk mendidik masyarakat akan pola hidup hijau melalui program-program kemahasiswaan yang bermanfaat. Dengan menginisiasi, mengajak, dan mempromosikan hal tersebut, diharapkan kerangka berpikir hijau tidak hanya menjadi semboyan semu, namun dapat terpatri dan diamalkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Layaknya kupu-kupu hijau, saya harus sudah bisa mengepakkan sayap dengan tegar, mengerti arah, dan di sisi lain membina kepompong-kepompong lain yang akan menjadi kupu-kupu di kemudian hari.
Air….Listrik….Sampah….Ketiga hal yang senantiasa ada dalam kehidupan kita, kini bukan pada perannya kita memahami jargon-jargon dan mendidik diri sendiri dalam sebuah tudung kepompong. Kini sebagai generasi muda dan mahasiswa, kontribusi pemikiran dan gagasan sudah sangat diharapkan. Bukan untuk membuat jargon, tetapi untuk membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang ada. Selagi gaya hidup hijau sudah terhayati, sudah saatnya membantu bumi untuk tidak menjadi pesakitan. Penelitian dan formulasi kebijakan maupun strategi sustainable development akan menjadi kontribusi yang signifikan ketika kita sudah memiliki komitmen lingkungan hidup yang cukup matang. Namun menjadi kupu-kupu hijau yang baik akan cukup kuat efektifitasnya meskipun hanya dengan mengajak kupu-kupu lain serta membina kepompong-kepompong yang ada untuk bersama-sama menghijaukan bumi.
Pada akhirnya, kontribusi generasi muda terhadap lingkungan tidak hanya diawali dari posisi ‘saya sebagai mahasiswa’, tetapi dari sejak dini dapat dilakukan. Masing-masing level perkembangan manusia memiliki kontribusi tersendiri terhadap lingkungan. Masing-masing level tersebut pun bukanlah bagian yang saling independen, karena pada akhirnya satu sama lain seharusnya saling mendukung untuk mewujudkan mosi generasi hijau yang solid. Ibarat kata, formasi generasi hijau layaknya siklus kepompong menjadi kupu-kupu yang terus berulang. Jika kepompong dibina oleh kupu-kupu hijau, niscaya kupu-kupu yang muncul kelak pun akan berwarna hijau.
Ditulis oleh Ratu Ayu Asih Kusuma Putri
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
|