KAMPUNG 99 POHON : Konsep Hidup Family Back To Nature sebagai Kontribusi Membangun Lingkungan

Kerusakan Hutan Indonesia

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003).

Dengan semakin berkurangnya hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003)

Hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan.

Jika dilihat dari perspektif sosiologis, maka konsep the treadmill of production dapat digunakan untuk melakukan analisis kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Menurut Buttel ( 2004 ), treadmill of production yaitu “he has observed the concept of the treadmill is unique insofar as it is based in sociological reasoning but, at the same time, features a key or penulminate dependent variabel –environmental destruction- this is biophysical.” Konsep ini lebih tepat jika diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga atau di Kawasan Selatan, dimana negara-negara Dunia Pertama menerapkan politik ekonominya demi mencapai produktivitasnya dengan memproduksi dan mengeksploitasi hutan di negara-negara Ketiga. Namun, proyek-proyek yang dilakukan tersebut justru membawa pada kerugian akibat bencana yang ditimbulkan dari produksi yang terus-menerus. Pernyataan berikut memberikan gambarannya : “Such project often fail to produce the expected level of economic growth while at the same time causing massive ecological damage in the form of flooding, rainforest destruction, soil erotion, and pollution.”

Pengrusakan hutan yang terus-menerus akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Sementara itu, rakyat dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka.

Permasalahan

Akses dan kesulitan masyarakat dalam memanfaatkan hutan menjadikan mereka kehilangan peran untuk tetap peduli dan melestarikan hutan. Hal ini diakibatkan karena hutan tempat mereka menggantungkan hidup sudah tidak lagi berfungsi dan akhirnya mereka menjadi kehilangan kepekaan akan keberadaan hutan. Hutan menjadi barang yang langka terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dan sekitarnya. Masyarakat perkotaan dan sekitarnya begitu merindukan hidup dan merasakan atmosfer hutan yang dikelilingi pepohonan dan fauna dengan diselimuti hawa sejuk. Dan kini, mimpi masyarakat –terutama masyarakat daerah rural urban- untuk mendapatkan lingkungan yang sejuk dan segar dapat segera terwujud dan contohnya dapat ditemui di Kampung 99 Pepohonan Depok dengan konsep hidup yang menerapkan Family Back To Nature.

Dengan permasalahan tersebut, maka pertanyaan penulis ialah bagaimana masyarakat Kampung 99 Pepohonan berusaha mendapatkan suasana hawa sejuk dengan konsep yang pro-lingkungan yaitu Family Back To Nature sebagai kontribusi dalam membangun lingkungan?

Sekilas Profil Kampung 99 Pepohonan

Depok merupakan salah satu daerah satelit kota Jakarta yang berbatasan langsung di bagian selatan. Jika ditilik lebih dalam yaitu di daerah Cinere, tepatnya di desa Meruyung, maka kita dapat menjumpai sebuah kampung yang sangat asri yang dinamai Kampung 99 Pepohonan. Nama Kampung 99 Pepohonan diambil dari banyaknya pohon jati putih (gmelina arborea) yang ditanam anak-anak sebanyak 99 pohon. Dengan luas sekitar 5 hektar, wilayah yang dahulunya areal persawahan kritis ’disulap’ menjadi kawasan hutan baru dimana didalamnya tidak hanya terdapat pohon-pohon, tetapi juga hewan-hewan. Pohon-pohon yang saat ini menghuni kampung ini diantaranya pohon jati putih, meranti, trembesi, ulin, menteng, gandaria, bintaro, kemang, bambu, dan mahoni. Tidak kalah juga, hewan-hewan yang ada di kampung ini jenisnya juga beraneka ragam seperti rusa, burung-burung, kunang-kunang, tupai, ular, hingga biawak.

Awalnya Kampung 99 Pepohonan atau disebut Kampung Rusa adalah tempat hunian pribadi. Ada sepuluh keluarga yang hidup berkelompok dengan mempraktikkan Alquran dan Hadis di sana. Tidak ada pagar yang membatasi kampung tersebut dengan dunia luar, dan bahkan setiap orang dapat tinggal di kampung tersebut jika visi dan misinya selaras dengan konsep kampung tersebut yaitu dengan gaya hidup organik. Hunian yang ramah lingkungan dan terbuka kini mulai dibangun. Luas setiap rumah kayu yang dibangun tak lebih dari 100 meter persegi, tanpa pagar, dan dibangun bersama oleh seluruh penghuni Kampung 99 Pepohonan. Setiap keluarga mempunyai kolam penyangga untuk memelihara ikan atau ternak dan kebun minimal 100 meter persegi. Kayu yang digunakan untuk membangun rumah bukanlah kayu yang mahal. Mereka menggunakan kayu yang mudah ditemukan di sekitar Meruyung.

Penerapan Konsep Hidup Family Back To Nature

Konsep hidup bersama dalam kampung ini dicetuskan oleh Eddy Djamaludin Suaidy. Ia adalah lulusan Arkeologi Universitas Indonesia yang saat ini menjadi tetua Kampung 99 Pepohonan. Konsep keluarga besar yang memenuhi kebutuhan bersama-sama dan gotong royong itulah yang dikembangkan Eddy di Kampung 99. Sepuluh keluarga yang hidup bersama dengan total 70 orang warga itu bukan hanya saudara sekandung. Tapi, ada adik ipar, keponakan, teman kampung ayahnya dulu, hingga orang lain yang benar-benar tak ada hubungan darah dengannya. Kesepuluh keluarga itu hidup di rumah masing-masing yang saling berdekatan, dimana rumah-rumah itu dibangun dengan kayu dan gaya yang alamiah.

Mereka secara maksimal mencukupi kebutuhan sendiri. Misalnya, menanam padi dan sayur organik, berkebun buah-buahan, beternak kambing dan sapi, serta perikanan. Untuk memasak, mereka tidak menggunakan gas, tapi dengan kayu yang didapatkan dari ranting yang hanyut di sungai. Semua penghuni dilarang menebang pohon, memetik daun, membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik. Agar lingkungan asri dan udara segar terus didapatkan, seluruh penghuni tidak merokok.

Mereka bukan hanya mengonsumsi semua makanan yang alami, mereka juga membangun hubungan sosial dengan pola baru. Hubungan antartetangga dibangun atas dasar keterbukaan dan kolektivisme.Terdapat suatu sistem kegiatan hidup yang dirancang di kampung ini seperti sistem satu laundry, satu dapur, dan satu sumur. Kegiatan mencuci pakaian dipusatkan di rumah seorang penghuni yang dekat dengan Sungai Pesanggrahan. Memasak dilakukan dengan menggunakan kayu bakar yang diperoleh dari ranting atau dahan pohon yang berguguran dan dipusatkan di rumah penghuni lain yang gemar memasak.

Kampung ini memproduksi sendiri seluruh kebutuhan pangan sehari-hari bagi penghuninya, seperti beras bebas, pupuk, roti tanpa pengawet, keju, susu, madu, sayur-mayur, yogurt, dan ikan. Setiap penghuni bebas mengembangkan ide, minat, dan potensi untuk membuat kehidupan di kampung kecil ini semakin lengkap. Semua yang ada di Kampung 99 Pepohonan ini tak ada yang terbuang. Telur keong emas dan remah-remah sisa pembuatan roti dijadikan pallet untuk makanan ikan. Daun-daun untuk makanan rusa dan dijadikan kompos, yang kini selain dipakai sendiri juga sudah dijual. Ranting-ranting kayu untuk kayu bakar. Kotoran ternak dijadikan pupuk tanaman. Tulang-tulang ikan, ayam, bekas- makanan, dikumpulkan untuk makan ikan bawal.

Selain memenuhi kebutuhan sendiri, mereka melakukan pembagian kerja. Misalnya, ada yang kebagian memasak untuk ke sepuluh keluarga, ada yang kebagian mencuci pakaian, hingga ada yang kebagian merawat hewan dan tanaman. Dengan cara ini, mereka bisa hidup hemat. Jika mereka mengalami konflik atau masalah di antara warga, di komunitas ini terdapat forum. Itulah pertemuan tertinggi yang digelar setiap dua pekan untuk memutuskan apa pun secara bersama-sama.

Kini hasil Kampung 99 Pepohonan berlimpah, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan para penghuninya. Produk seperti yogurt, beras, madu, cuka apel, ikan, dan sayuran sudah mulai dijual ke luar. Kegiatan menanam pun tak pernah berhenti. Setiap hari penghuni kampung ini menanam sepuluh pohon. Inovasi terus dikembangkan, mulai dari pembuatan cuka kelapa, hingga yogurt sukun. Juga memproses air irigasi untuk mandi agar pemakaian air tanah semakin berkurang. Dan mereka juga membuat pembangkit listrik tenaga kincir air yang ramah lingkungan.

Buah Itu...

Konsep unik untuk hidup bersama di Kampung 99 itulah yang akhirnya memancing orang luar untuk ikut merasakan. Kampung yang berkonsep back to nature itu kini menjadi tujuan wisata alam. Kini Kampung 99 menjadi daya tarik yang membuat banyak orang berkunjung ke sana. Semakin hari, kunjungannya semakin banyak. Mereka melengkapi diri dengan membuka restoran, menyediakan penginapan, dan mengadakan berbagai macam kegiatan outbond. Kini berbagai kegiatan digelar untuk anak-anak di sana. Misalnya, berjalan-jalan mengenal tumbuh-tumbuhan, menanam pohon, memanen padi dan sayur, memberi makan rusa dan ternak (kambing, domba, sapi, kerbau), menangkap ikan, memandikan kerbau, dan membajak sawah. Dari sarana-sarana yang disediakan itulah mereka mendapat dana yang lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka sehari-hari.

Pemasukan pun didistribusikan dengan persentase yang telah disetujui bersama oleh seluruh anggota keluarga setelah dikurangi pengeluaran. Jika satu anggota keluarga ada pengeluaran khusus, seperti melahirkan atau hendak menyekolahkan anak, persentase itu ditambah dan anggota keluarga yang lain juga tidak berkeberatan. Semua dibicarakan bersama secara demokratis tanpa otokrasi.

Tekad mereka untuk hidup dengan lingkungan yang sejuk dan segar serta sehat dan berkontribusi bagi lingkungan, telah membuahkan rupiah yang akan terus berkembang karena pemerintah setempat telah memasukkan kampung itu sebagai kawasan wisata dan membuka kantor dinas pariwisatanya di sana. Jadi, penerapan konsep familiy back to nature tidak hanya dapat dinikmati oleh warga Kampung 99 Pepohonan itu sendiri tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas dan yang lebih penting adalah kontribusinya dalam membangun lingkungan.


Referensi

Hannigan, John. Environmental Sociology 2nd Edition. London and New York : Routledge.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2004/05/24/brk,20040524-14,id.html
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=11090
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=24146
http://www.indosiar.com/news/horison/74240_teduhnya-kampung-99-pepohonan



Ditulis oleh Endah Dwi Novianti
Mahasiswa Ilmu Sosiologi FISIP UI