An Inconvenient Truth, Global Warming Swindle, dan Kita

Persoalan Pemanasan Global bukan hanya persoalan sains semata, melainkan juga persoalan politik sehingga hal ini terus menimbulkan kontroversi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya dua buah versi film dokumenter -yang sama-sama memaparkan fakta ilmiah- dalam memandang global warming. Kedua film tersebut adalah An Inconvenient Truth yang diangkat oleh Albert Gore -seorang mantan wakil Presiden Amerika-, dan film The Global Warming Swindle.

Dalam film An Inconvenient Truth, awalnya Al Gore mengajak kita memahami betapa manusia sangat meyukai keindahan dan keselarasan. Namun akhirnya kita harus tersadar bahwa alam yang indah dan menjanjikan kehidupan bagi manusia ini, pada akhirnya akan menemui kehancuran karena perbuatan manusia itu sendiri. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar CO2 yang ada di atmosfir secara signifikan, seiring dengan berkembangnya industrialisasi dan peradaban manusia lainnya.



Menghadapi suatu proyeksi saintifik akan masa depan yang tidak menggembirakan, Al Gore menyatakan bahwa,“It’s not a political issue, but a moral issue. If we allow it happen, it’s deeply unethical.” Over population telah menambah dan menggandakan kebutuhan manusia, sehingga atas dasar tersebut, banyak resources yang digunakan secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat menyokong kehidupan manusia. Hal ini menjadi power, namun apabila power ini tidak diiringi dengan perkembangan cara berpikir dan kebiasaan yang baru, maka tidak diragukan lagi akan menghasilkan konsekuensi yang amat dramatis bagi alam ini dan kehidupan manusia itu sendiri. Karena sudah merupakan ketetapan hukum alam, bahwa great power comes great responsibility. Manusia sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas hal ini, menurutnya harus dapat meminimalisir dampak yang mengkin terjadi. Al Gore menekankan bahwa apabila kita membiarkannya terjadi akan ada sesuatu yang mungkin tidak ada lagi untuk anak kita. Dari hal-hal yang dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, film ini sarat dengan konsep atau pandangan antroposentrisme, dimana manusia menjadi pusat dari alam dan dianggap dapat mengatur dan mengendalikan alam. Oleh karena itu hal-hal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan pun ditujukan untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Sedangkan dalam film The Global Warming Swindle, dipaparkan bahwa klaim global warming sebagai akibat dari aktivitas manusia, adalah kebohongan besar. Disajikan melalui wawancara para ilmuwan dan pihak lain yang tidak setuju dengan aktivitas manusia sebagai penyebab global warming. Film tersebut mengklaim bahwa kesepakatan aktivitas manusia sebagai penyebab utama perubahan iklim, sengaja dibuat oleh environmentalist yang anti-industrialisasi untuk mendatangkan lapangan pekerjaan dan aliran dana bagi organisasi yang terlibat mengatasinya. Kesepakatan ini juga berdampak pada terhambatnya perkembangan di development country.


Fakta yang dipaparkan dalam The Global Warming Swindle, diantaranya pada masa setelah perang dunia II (1940) hingga tahun 1970-an kadar CO2 di atmosfir mengalami penurunan. Hal ini yang menguatkan bahwa bukan aktivitas manusia--dalam hal ini industrialisasi yang berkembang pada masa itu-- yang menyebabkan meningkatnya gas karbon dioksida, justru alam sendirilah yang lebih banyak menghasilkan Co2.
Kontributor gas CO2 yang diklaim oleh film tersebut diantaranya adalah:
1. Aktivitas gunung api yang secara signifikan menghasilkan CO2 per tahun lebih banyak dari manusia (namun kemudian produser film tersebut, mengakui bahwa kalim tersebut salah),
2. Tanaman dan hewan yang menghasilkan 150 gigaton gas Co2 per tahun. Daun yang gugur bahkan memproduksi lebih banyak Co2
3. Lautan yang sejauh ini adalah produsen terbesar gas CO2.
4. Sedangkan manusia, hanya memproduksi hanya 6,5 gigaton gas CO2 per tahunnya, atau tidak lebih dari 1 persennya.

Salah satu yang terbesar pengaruhnya dalam fenomena global warming menurut film ini adalah aktivitas matahari yang kian meningkat memanaskan bumi. Penelitian yang digunakan untuk mendukung argumen ini adalah penelitian Eigil Friis-Christensen. Namun Christensen dan koleganya Nathan Rive sendiri mengkritik cara penggunaan data tersebut.

Data-data ini sangat bertentangan dengan data yang dipaparkan dalam film An inconvenient truth. Begitu pula dengan keyakinan saya. Berpegang pada apa yang saya pahami dari konsep agama Islam, Islam menyebutkan bahwa Tuhan telah menciptakan alam ini dengan ukuran yang tepat. Hal ini juga dapat diartikan bahwa alam ini tidak akan rusak dengan sendirinya, dan selalu bergerak untuk mencari keseimbangan. Jadi apabila alam mengakibatkan kerugian pada manusia, hal itu pasti disebabkan adanya gangguan alam itu sendiri. Dalam bukunya The Net of Life, Capra mengutip puisi Ted Pery yang intinya berujar bahwa apa yang dilakukan oleh manusia adalah bagian dari jaring-jaring kehidupan dan merajutnya, mak apapun yang ia lakukan pada jaring-jaring itu akan menganai dirinya sendiri.

Salah satu penyebab terjadinya global warming adalah ketidakmengertian manusia terhadap masalah ekologi. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha agar masalah ekologi dapat dipahami oleh masyarakat, dimulai dari lingkup terkecil yang dapat kita jangkau. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Fritjof Capra dalam bukunya, The Hidden Connections melalui konsep ekoliterasi dan ekodesain. Ekoliterasi secara terminologis dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk menumbuhkan kesadaran ekologi pada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Saya juga sepakat dengan pernyataan Al Gore di akhir film dokumenternya, bahwa pada akhirnya pola pikirlah (way of thinking) yang akan menyelamatkan kita. Namun itu saja belum cukup, sebuah pemikiran tidak akan berarti tanpa adanya real action, ini yang disebut oleh Capra sebagai ekodesain, sebagai langkah kedua dari menciptakan masyarakat yang sadar ekologi. Mengutip Al Gore, yang perlu kita lakukan adalah “make sure that the warnings are heard and responded.”

Dalam kapasitas sebagai anak muda, langkah konkrit yang dapat kita lakukan dalam menyikapi fenomena global warming dapat dimuali dengan tindakan-tindakan kecil, seperti tidak menggunakan listrik secara berlebih dan menggunakan alat-alat elektrik hemat energi.

Selain itu, merupakan salah satu tanggungjawab kita juga untuk mengajak orang lain untuk melakukan collective action. Hal ini juga dapat dimulai dari hal-hal kecil di sekitar kita dan dari sekarang, seperti misalnya melakukan social marketing pemilahan sampah di lingkungan kita atau penggunaan listrik dan bergaya hidup ramah lingkungan. Karena semua adalah proses, dan setiap langkah kecil yang kita lakukan adalah sangat berarti.


Referensi

Assifi, Najib M dan James H. french. Guidelines for Planning Communication Support for Rural Develompment campaigns.

Widiyanarko, Dian. 2006. Jurnal Balairung: Konsep ekoloterasi dan ekodesain Fritjof Capra, sebuah solusi untuk masalah sampah.

Sumber Foto

http://www.altum.com/bcig/events/special_sessions/2006/an-inconvenient-truth.jpg
http://www.yume.co.uk/wp-content/uploads/2008/08/the-great-global-warming-swindle1.jpg


Ditulis oleh Dinar Rahmi
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI
Sekretaris Umum BEM FISIP UI